Studio Visits: Dwiky Ka

Bagaimana scene musik underground dan ekosistem kreatif di Surabaya dan Jogja menginfluence karyanya.

Seni
41,973 Hypes

Dwiky Kristio Aditama alias Dwiky Ka adalah visual artist yang selama beberapa tahun terakhir mencuri perhatian lewat karya-karyanya yang punya style khas.

Lewat deretan graphics dan artworks di berbagai medium, instalasi, dan bermacam kolaborasi, salah satunya dengan Vans—membuatnya jadi seniman Indonesia pertama yang collab dengan brand ikonis itu—Dwiky Ka menghadirkan output yang solid dan berkarakter. Secara visual, karya-karyanya terlihat seperti mix dari elemen artwork band-band extreme metal yang dark, estetika science fiction, dengan warna-warna bright yang punya vibe lebih “pop”; hasilnya jadi raw, chaotic, sekaligus bold dan unik.

Yang menarik lagi, sebagai seniman yang berasal dari Surabaya, Dwiky Ka nggak segan buat menonjolkan identitas dari tempat asalnya lewat humor dan ungkapan lokal, kayak umpatan “Jancuk!”, ke dalam karya-karya sebagai salah satu ciri khas utama.

Pada edisi terbaru Studio Visits, kami nyamperin Dwiky Ka ke studionya di Yogyakarta untuk ngobrolin beberapa hal dari NFT art, cerita dibalik collab dengan Vans, hingga bagaimana scene musik underground dan ekosistem kreatif di Surabaya dan Jogja menginfluence karyanya selama ini.


HB: Hi, Dwiky Ka. Sekarang kamu lagi sibuk ngerjain project apa?

Dwiky Ka (D): Hi! Sekarang sedang banyak menghabiskan waktu buat eksperimen pengembangan teknis dan medium karya personal, mengarsipkan dan mencari komik-komik Indonesia lama yang menurutku penting. Terus menyiapkan project group di Perancis tahun ini.

HB: Kamu punya style graphic yang sangat unik dan raw. Boleh ceritain nggak journey kamu nge-develop style ini? Apa influence utama buat kamu dan karyamu?

D: Singkatnya, ini berangkat dari kedekatanku dengan lingkungan temen-temen musik bawah tanah. Zaman sekolah waktu itu lagi sexy-sexy-nya death metal dan hardcore. Aku mulai aktif gambarin artwork buat mereka, sebagai bentuk kontribusi karena nggak bisa main musik, hahaha! Ini terus berlanjut sampe kuliah dan berkembang untuk bikin flyer-flyer gigs waktu itu. Dari sini aku nemuin sense yang menarik dari hal-hal yang ekstrem, chaos, dan brutal; entah mengapa ini terasa serasi dengan iklim Surabaya yang panas beserta karakter orang-orangnya yang keras dan senggol bacok.

Sense ini semakin berkembang ketika aku campur-campur lagi dengan ketertarikanku pada komik Indonesia lama dan narasi-narasi science fiction. Ada kemiripan khususnya logo-logo band metal klasik dengan text effect di komik-komik underground yang sama-sama memvisualkan bunyi dan atmosfer.

Untuk influence ada banyak sekali nama yang menurutku secara visual menarik, beberapa seperti Gary panter dengan kecuekannya terhadap style namun artistik, Charles Burns dengan detail arsiran tinta yang runcing, Rick Griffin yang membuat panel komik begitu experimental di eranya, dan Jamie Hewlett yang sangat nakal dan cerdas dalam membuat karakter penokohan.

“Aku nemuin sense yang menarik dari hal-hal yang ekstrem, chaos, dan brutal. Sense ini semakin berkembang ketika aku campur-campur lagi dengan ketertarikanku pada komik Indonesia lama dan narasi-narasi science fiction.”

HB: Kamu kan berasal dari Surabaya dan sekarang pindah ke Yogyakarta. Gimana kamu melihat ekosistem kreatif di kedua kota ini? Apa yang kamu suka dari masing-masing kota?

D: Surabaya bisa kubilang situs skena musik underground yang kompleks dan dinamis. Pergerakan musik disini tak kenal musim, aku bisa melihat spirit musik dan roots sebenarnya ada di sini, support system antara pelaku dan lintas generasi tidak berhenti pada lingkup musik saja, tapi hingga ke kehidupan sehari-sehari. Mayoritas dari mereka tidak semua bekerja sebagai musisi, tapi keaktifan berprogram dan eksistensinya untuk skena terkadang bikin geleng-geleng sendiri, dimana industri musik underground sendiri di sana yang makin berjarak. Romantisme salon mohawk di tengah-tengah konser, solidaritas aktivisme, dan putaran drama alkohol masih ada sampe sekarang.

Jogja lebih kepada seni dan budaya, dengan basis komunitasnya. Di sini adalah alasan utama untuk memperdalam knowledge, jejaring, dan pengembangan teknis. Seakan terpetakan dengan organik, kita bisa sangat gampang menemukan ruang-ruang untuk kebutuhan apapun terhadap kekaryaan. Ekosistem yang pas untuk siapapun yang ingin mengeksplorasi seni, terlebih visual.

“Beberapa karyaku di tiga tahun terakhir banyak dengan medium animasi, menurutku mungkin NFT adalah tempat tukar yang menarik karena karya digital seharusnya diperlakukan secara digital juga, baik ruang, interaksi, dan distribusinya.”

HB: Beberapa waktu lalu kamu meluncurkan project NFT 1 of 1 “Called by Anonymous”. Apa hal yang bikin kamu terjun ke NFT art?

D: Sebenarnya ini sebatas eksperimen. Beberapa karyaku di 3 tahun terakhir banyak dengan medium animasi, menurutku ini menarik dan mungkin NFT adalah tempat tukar yang menarik, karena karya digital seharusnya diperlakukan secara digital juga, baik ruang, interaksi, dan distribusinya. Terlebih ini sangat rebel dan mandiri.

HB: Menurut kamu, apa hal yang bikin banyak orang salah kaprah ketika nyebut NFT art?

D: Aku tidak begitu yakin buat salah dan benarnya, karena medium ini sifatnya masih spekulasi. Hanya saja aku kurang setuju jika esensi karya seni bisa bergeser menjadi sereceh “asset” jual beli.

HB: Apa NFT piece yang pengen banget kamu dapetin?

D: Clone X dari Takashi Murakami.

HB: Menurut kamu sendiri, gimana masa depan NFT art? Apakah semua artist bakal ke arah sini?

D: Mayoritas mungkin iya menurutku; bukan bergeser tapi lebih ke alternatif market-nya aja. Seperti musisi yang menjual rilisan fisik, tapi juga meletakkan musiknya di platform streaming. Karya fisik akan tetap memiliki tempatnya sendiri karena bentuk komunikasinya yang berbeda.

“Jogja lebih kepada seni dan budaya, dengan basis komunitasnya. Di sini adalah alasan utama untuk memperdalam knowledge, jejaring, dan pengembangan teknis. Ekosistem yang pas untuk siapupun yang ingin mengeksplorasi seni, terlebih visual.”

HB: Ngomongin proses, gimana sih workflow kamu dalam mengerjakan suatu project? Apa tools andalanmu?

D: Tidak ada workflow yang pasti buat prosesku, kadang spontan tapi kadang juga terstruktur, tergantung dari project atau karya yang dibuat. Biasanya aku memulai dari teks dulu, lalu dipindahkan ke gambar. Untuk teknisnya diawali dari sketsa di atas kertas, kemudian dipindah ke tools digital menggunakan pen tablet. Tools andalan yang efisien saat ini iPad Pro, cukup menjawab mobilitas zaman.

HB: Banyak brand, musisi, dan creatives yang ngajakin kamu buat collab. Apa aja ground rules dari kamu dalam berkolaborasi?

D: Tau style karakterku sepenuhnya yang utama, kedua masih ada benang merah dengan art-nya. Sisanya bisa mesra di proses.

“Vans membebaskan untuk konsep dan story yang diangkat, sampai pada akhirnya mengangkat konteks humor Indonesia, dan word “JANCOX” sebagai hal yang yang paling dekat denganku.”

HB: Kita penasaran, gimana sih awal ceritanya Vans x Dwiky Ka bisa kejadian? Gimana perasaan kamu saat diajakin collab mereka waktu itu?

D: Itu tawaran tiba-tiba melalui DM Instagram. Aku dikontak dari salah satu creative Vans pusat waktu itu di akhir 2019. Tawaran awalnya sebatas apakah mau kolaborasi dengan Vans, belum tau kalo rilis global lewat series OTW Gallery setelah di-email detailnya secara resmi. Cukup kaget tentunya, karena ini direct tanpa diperantarai pihak ketiga. Proses ini di-develop cukup displin dan waktu yang singkat untuk desainnya.

Vans membebaskan untuk konsep dan story yang diangkat, sampai pada akhirnya mengangkat konteks humor Indonesia, dan word “JANCOX” sebagai hal yang yang paling dekat denganku. Saat itu ada dua kali proses sampling sepatu yang dikirimkan ke studio Jogja dan beberapa ada revisi di detail bordir “JANCOX”. Sampai pada final produksinya yang memakan 1 tahun, dan akhirnya di summer 2021 sepatu ini launch diawali dengan dirilis di negara-negara Eropa, menyebar ke AS, lalu Asia.

“Karya fisik akan tetap memiliki tempatnya sendiri karena bentuk komunikasinya yang berbeda.”

HB: Denger-denger, kamu lagi mau collab sama brand luar ya? Spill dikit dong soal project ini!

D: Ya, ini commission project yang di-direct oleh Warren Lotas. Output yang mau dibikin masih belum final, namun visual yang akan kubuat adalah merespon dari signature original tengkorak Warren Lotas.

HB: Apa playlist favoritmu saat di studio?

D: Madchester dan Classic Punk.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

Studio Visits: Vloqee
Seni

Studio Visits: Vloqee

Artist Indonesia ini ngeshare experiencenya dalam berkarya di Jepang.

Studio Visits: Jemana Murti
Seni

Studio Visits: Jemana Murti

Artist asal Denpasar ini merespon masalah regenerasi seni budaya Bali lewat AI dan 3D printing.

Ballers Club Studio Ngerilis Koleksi Terbaru Mereka, “R.F.D.B”
Fashion

Ballers Club Studio Ngerilis Koleksi Terbaru Mereka, “R.F.D.B”

Terinspirasi dari sepak bola Spanyol.


Ballers Club Studio Ngerilis Collaboration Collection Bareng Zapoli
Fashion

Ballers Club Studio Ngerilis Collaboration Collection Bareng Zapoli

Terinspirasi dari jersey vintage Napoli dan Maradona.

Mankind Hadirkan Eksplorasi Cut & Sew yang Bold lewat Koleksi “Jocular Cirque”
Fashion

Mankind Hadirkan Eksplorasi Cut & Sew yang Bold lewat Koleksi “Jocular Cirque”

Tersedia mulai 12 Maret 2022. Cek koleksi lengkapnya di sini.

NOBOUNDARIES LIFE Hadirkan Tonal Color Set dalam Koleksi Terbarunya,"IRIS COLLECTION"
Fashion

NOBOUNDARIES LIFE Hadirkan Tonal Color Set dalam Koleksi Terbarunya,"IRIS COLLECTION"

Cek koleksi lengkapnya di sini.

Compass® Berkolaborasi dengan Fxxking Rabbits Untuk Merilis Lineup Sneakers Terbaru
Footwear

Compass® Berkolaborasi dengan Fxxking Rabbits Untuk Merilis Lineup Sneakers Terbaru

Cop or drop?

Parahyangan Golf Menjadi Bagian dari Asian Tour Destinations
Olahraga

Parahyangan Golf Menjadi Bagian dari Asian Tour Destinations

Golf Course pertama yang mewakili Indonesia dalam ajang kompetitif ini.

Sole Mates: Adityalogy dan Nike x Off-White Air Presto
Fashion

Sole Mates: Adityalogy dan Nike x Off-White Air Presto

Founder THE SNKRS bercerita tentang perjalanannya sebagai content creator, top five sneakers, dan legacy Virgil Abloh.


Doublecourt Berkolaborasi dengan Wowmen Group dalam "Fondness Lilac"
Fashion

Doublecourt Berkolaborasi dengan Wowmen Group dalam "Fondness Lilac"

Dalam rangka memperingati International Women’s Day.

TRUE© Angkat Vandalisme dan Konflik Urban lewat Koleksi "CONCRETE JUNGLES/SIDE B"
Fashion

TRUE© Angkat Vandalisme dan Konflik Urban lewat Koleksi "CONCRETE JUNGLES/SIDE B"

Hadirkan graphics dengan vibe yang raw.

Soundwave Rilis Single Terbaru Berjudul "Real Love"
Musik

Soundwave Rilis Single Terbaru Berjudul "Real Love"

Terinspirasi dari relationship kedua personelnya, Rinni Wulandari dan Jevin Julian.

Mosto, Natural Wine Bar Pertama di Indonesia, Buka di Bali
Kuliner

Mosto, Natural Wine Bar Pertama di Indonesia, Buka di Bali

Dengan seleksi lebih dari 70 label wine organik dari seluruh dunia.

Berikut Upcoming Releases dari Apple yang Mencuri Perhatian
Tech & Gadgets

Berikut Upcoming Releases dari Apple yang Mencuri Perhatian

Cek daftar lengkapnya di sini.

More ▾