Color of the Year Pantone 2026 Adalah Putih — Tapi Nggak Benar‑Benar Putih
Off-white hangat bernama “Cloud Dancer” ini mencerminkan kerinduan akan ketenangan sekaligus memudarnya warna-warna modernitas.
Sebagai otoritas warna lintas industri, Pantone telah menetapkan Color of the Year sejak 1999, memilih satu rona tahunan yang mencerminkan arah desain produk sekaligus sentimen budaya yang lebih luas.
Terpilih untuk 2026, “Cloud Dancer” (PANTONE 11-4201) adalah rona off-white yang lembut dan hangat — bayangkan susu oat, kapas tanpa pewarna, atau es krim vanila. Lebih nyaman di mata dibanding putih murni, namun lebih serbaguna sebagai warna netral dibanding kuning mentega. Dari outerwear off-white Palace koleksi Winter ‘25 hingga koleksi sepatu monokrom MM6 Maison Margiela x Dr. Martens, warna ini pelan-pelan menguasai zeitgeist fashion sepanjang tahun.
Kita sudah melihat rona ini di mana-mana, meski kehadirannya lembut dan tidak mencolok. Jika di era 2000–2010-an Pantone banyak mengandalkan warna-warna terang yang pekat dan pastel, dalam beberapa tahun terakhir pilihannya justru makin kalem. Pada 2021, Pantone memilih dua warna, salah satunya Ultimate Gray. Lalu Peach Fuzz untuk 2024 adalah pink hangat dengan nuansa netral, dan Mocha Mousse untuk 2025 adalah — sederhananya — cokelat muda.
Meski begitu, 2026 bukan pertama kalinya rona yang berdekatan dengan putih dinobatkan sebagai Pantone Color of the Year. Tepat 20 tahun lalu, Color of the Year 2006 adalah Sand Dollar, shade yang mirip namun lebih gelap, mendekati beige. Rona tersebut merupakan warna paling dekat dengan putih yang pernah dipilih Pantone hingga hadirnya Cloud Dancer untuk 2026. Namun mengapa kita justru melihat semakin banyak warna netral masuk ke deretan Pantone Colors of the Year? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Pantone menyebut Cloud Dancer sebagai “sebuah pernyataan sadar akan penyederhanaan.” Nuansa kesederhanaan dan ekspresi yang tertahan ini terasa sangat relevan hari ini, ketika fashion bergeser dari maksimalisme dan logomania menuju cara berbusana yang lebih rapi dan streamlined. Warna ini bisa dibaca sebagai produk gelombang “quiet luxury” yang menyapu dunia fashion di era 2020-an, tren yang mempopulerkan gaya tonal dan monokrom sekaligus membangkitkan kembali selera pada hal-hal yang dianggap “klasik.” Generasi baru label mewah abad ke-21 seperti The Row, Lemaire, Jacquemus, dan Auralee pun selaras dengan estetika bersih dan modern ini, yang menjauh dari kemewahan yang berlebihan dan lebih condong pada kerendahan hati.
Dari sudut pandang yang lebih luas, sebagian orang berpendapat bahwa warna perlahan-lahan menghilang dari dunia. Sebuah grafik tahun 2020 berdasarkan analisis dariLondon’s Science Museum Groupmuncul kembali tahun ini, menampilkan visualisasi yang menggelisahkan tentang berkurangnya jumlah warna pada objek selama 200 tahun terakhir. Dalam kata-kata mereka sendiri, “segala sesuatu tampaknya menjadi sedikit lebih abu-abu seiring waktu.”
Di dunia yang dikuasai produksi massal, rasanya memang lebih praktis memproduksi lebih sedikit warna dalam palet yang lebih netral. Warna-warna netral bukan hanya secara objektif lebih mudah dijual ke pasar luas, tapi juga membantu menghilangkan rasa buntu saat konsumen harus menentukan pilihan. Dalam 25 tahun terakhir, pilihan meledak lewat platform e-commerce yang menawarkan opsi nyaris tanpa batas.
Namun di luar soal kepraktisan, faktor-faktor budaya yang sifatnya subjektif juga membentuk preferensi serba netral hari ini. Jika kita menyorot posisi kultur di penghujung 2025, ada tarikan kuat menuju ketenangan dan naturalisme — kualitas yang kian terasa langka seiring lajunya zaman. Dengan karakter yang ringan dan organik, Cloud Dancer hadir sebagai penawar kebisingan, menawarkan efek penyegar palet di tengah banjir distraksi.














