Kismin Boys Bicara Soal Internet Culture, Industri Kreatif Bali, dan Kolaborasinya Bersama BINTANG

Baca wawancara perdana mereka di sini.

Fashion
142,443 Hypes

Berawal dari grup chat BBM antar teman satu tongkrongan di Bali, Kismin Boys, satu dari delapan kolaborator BINTANG ‘Bersama Bali, kini menjelma jadi sebuah kolektif yang beranggotakan 30an orang dengan creative output yang beragam; mulai dari akun meme, podcast, retail store, hingga clothing label.

Buat Kismin Boys, semuanya terjadi berkat respon mereka yang organik terhadap setiap kesempatan yang datang. Tanpa ada pakem dan standard yang berlaku di dalam internal mereka, setiap output yang mereka hasilkan sukses menampilkan DNA yang unik berkat kebebasan dan rasa kepercayaan yang tinggi antar anggotanya yang datang dari bermacam latar belakang. Project kolaborasi BINTANG “Bersama Bali” bisa dibilang menjadi salah satu bukti dari etos kerja dan semangat Kismin Boys baik secara kolektif maupun kreatif.

Kami berkesempatan ngobrol dengan beberapa anggota Kismin Boys buat nyari tahu tentang awal terbentuknya kolektif ini, visi besar mereka dalam beberapa tahun ke depan, proses kreatif mereka dalam project “Bersama Bali”, sampai makna shitposting sebagai medium untuk menyuarakan opini anak muda saat ini.

Untuk menghargai privasi para anggota Kismin Boys sebagai kolektif yang anonymous, identitas asli sengaja dirahasiakan.


HB: First things first, gimana awalnya Kismin Boys bisa terbentuk? Apa motivasi awal dari Kismin Boys sendiri?

Sebelum Kismin Boys, masing-masing dari kami bertemu dalam kurun waktu yang berbeda — ada yang sudah kenal sejak kecil, ada yang baru kenal saat kuliah. Circa 2010, kami mulai bergabung dalam satu blackberry messenger chat group dan nongkrong di tempat yang sama: concept store milik salah satu dari kami.

Moniker Kismin Boys sendiri mulai muncul di internal kami tahun 2011-2012, ketika kebiasaan kami bertukar meme atau gambar lucu yang banyak beredar di Kaskus mulai menjadi semakin intens. Ide nama ini berasal dari 2 hal. Yang pertama adalah seringnya kami berselancar di forum-forum fashion tanpa pernah mampu membeli barang-barang keren yang kami lihat di sana, dan juga dipicu dari salah satu dari kami yang relatif kismin secara finansial, baru saja “mengalahkan” seorang pria kaya raya dan berhasil mencuri hati gadis PDKT-annya.

Pada prosesnya, celetukan self-deprecation bahwa “kemiskinan” adalah penghalang cinta dan gaya, akrab terlontar. Dipadupadankan dengan tren membolak-balik kata yang sedang jamak dilakukan pada saat itu, nama Kismin Boys pun lahir gitu aja, tanpa ada motivasi khusus selain untuk having fun dan menertawakan diri sendiri. Namun, seperti semua hal yang organik dan nirambisi, aktivitas shitposting ini ternyata berkembang dan menarik banyak orang setelah mulai hadir di platform Instagram circa 2016, di mana kami awalnya hanya ingin membuat akun untuk mengolok-olok kawan-kawan anggota chat group kami.

Kismin Boys akhirnya berekspansi ke berbagai platform seperti Twitter dan Podcast, serta mulai sering disebut sebagai sebuah kolektif seni. Beberapa tahun terakhir kami kedatangan kawan-kawan yang lebih muda yang ikut terseret ke pergaulan kami, hingga sekarang kami beranggotakan 30an orang (yang kebanyakan nggak bisa bangun pagi, photoshoot ini hari Minggu jam 8 pagi anyway gesss, gilaaakk beb) dengan rentang usia 18-30 tahun dan berbagai macam latar belakang — mahasiswa, dokter & dokter gigi, arsitek, desainer, bartender, pekerja start-up, —dan juga layaknya cita-cita anak Denpasar pada umumnya, banyak dari kami yang kerja di bank, sih. Because in Bali society, there’s nothing cooler than being able to work in a uniform, even if you earn less than a street food vendor he he. No offense.

HB: Apa challenge terbesar kalian dalam membesarkan nama Kismin Boys? Dan apa yang membedakan Kismin Boys dari yang lain?

Kismin Boys: Yang membedakan kami dengan yang lain ya. Hmm, mungkin karena kami berasal dari anak-anak yang berbeda latar belakang. Ada yang memang ngekultur sejak dulu, ada yang memang biasa saja di pergaulan, dan bahkan ada yang cenderung nerd. Tapi ternyata ketika masing-masing berkontribusi, konten dan pergerakan yang diproduksi orang-orang berbeda ini, pada akhirnya menemukan orang-orang berbeda pula yang relate dengan sendirinya.

Kalo dari segi shitposting, yang membedakan mungkin karena di IG Feed, kami hanya mengunggah sesuatu yang menurut kami qualified lucunya. Sisanya kami unggah di IG Story, sebagai asupan meme dan shitposting harian kami.

Kalo Twitter, memang media yang kami konsepkan agar Bali banget. Ini karena beberapa admin punya expertise di dalam bidang keresahan tentang Bali, tapi kurang relate kalo diutarakan di Instagram, yang mayoritas audiencenya hampir 80% adalah orang yang tinggal di luar Bali.

 

Challenge dalam membesarkan kolektif ini hampir nggak ada, karena kami pun nggak pernah berniat membuat Kismin Boys menjadi besar in the first place, jadi semuanya jalan gitu aja, natural dan unscripted. Kalo pun ada, mungkin saat IG kami di-ban oleh Instagram di 2018. Sempat terpikir berhenti mengabdi untuk skena shitposting, tapi selama sebulan itu people keep asking about making Kismin Boys 2.0 so here we are. (R.I.P our OG username @kisminboys).

Sedangkan untuk saat ini, challenge terbesar kami adalah menanamkan kepada semua anak-anak untuk gak memposting konten yang berpotensi membuat akun-akun media sosial kami di-ban dan hilang untuk kedua kalinya. Haha!

“Sebagai anak-anak yang percaya kekuatan sesuatu yang organik since day one, kami mengamini hal ini. Menurut kami, counter culture ini terjadi karena ada kejenuhan terhadap definisi “cool kid” di era sesaat sebelum ini, di mana segala sesuatunya harus serba cOoL.”
HB: Ada semacam role yang kalian sepakati ngga dalam nge-run Kismin Boys baik sebagai meme page, brand, dan kolektif?

K: Sebagai akun media sosial, mungkin lebih ke beberapa dari kami cocoknya di Instagram, dan beberapa cocoknya di Twitter. Seperti yang kami ceritakan di atas, audiencenya beda banget, jadi harus diurus dengan cara yang berbeda pula.

Sebagai kolektif, brand, dan unit kreatif; kami ngebebasin anak-anak untuk berkontribusi sesuai minatnya aja, tanpa adanya ketua atau pemimpin, semua melewati proses diskusi bersama. Yang suka nulis biar jadi copywriter, yang suka berrrgaulll biar jadi contact person, yang suka musik biar ngorganisir gigs, yang suka desain biar bikin produk, yang suka ngoceh-ngoceh ga jelas biar bikin podcast, dan seterusnya.

Tapi, most of the time kami go with the flow aja.

HB: Gimana kalian mengkurasi konten yang ada di Kismin Boys? Boleh jelasin nggak proses dari mulai milih konten sampai ngepost?

K: Karena saking egaliternya, sebenarnya proses ngonten berjalan simpel: siapapun yang punya konten bisa mengunggah konten tersebut. Proses kurasi baru terjadi saat udah diunggah — jika satu orang merasa konten tersebut agak kurs, maka orang tersebut biasanya akan menghapus tanpa persetujuan (karena, pun tidak pernah saling tahu siapa yang menggunggah apa) — dan berakhir dengan chat di group: “woy telorrr, siapa yang hapus postinganku barusan?!!!”

HB: Shitposting bisa dibilang jadi salah satu bentuk counter culture di dunia yang serba proper dan sleek. Uniknya hal ini justru banyak disukai sama banyak orang karena punya unsur yang fun dan apa adanya. Gimana pandangan kalian soal hal ini?

K: Sebagai anak-anak yang percaya kekuatan sesuatu yang organik since day one, kami mengamini hal ini. Menurut kami, counter culture ini terjadi karena ada kejenuhan terhadap definisi “cool kid” di era sesaat sebelum ini, di mana segala sesuatunya harus serba cOoL – feed IG harus rapi dan aEsthEtic, fashion harus sesuai zaman yang berganti enam bulan sekali, selera musik tidak boleh menyimpang sambil sembunyi-sembunyi mendengarkan artist yang menurut mereka hiDdEn gEm. In other words, nggak keren aja untuk jadi akun yang konsisten mengunggah konten meme.

Tapi, sekarang kayaknya hal itu udah makin bergeser, it’s apparently cool untuk ngefollow berbagai akun shitposting untuk sekadar punya sesuatu untuk ditertawakan sambil menjalani hari yang semakin berat. Untuk kami, puncaknya adalah saat team marketing sebuah kampus desain di Bali, yang mana 6 dari anak-anak adalah alumninya – sempat berkomunikasi dan meminta izin untuk mempromosikan bahwa alumni dari kampus tersebut bisa punya skill untuk membesarkan sebuah kolektif yang berasal dari shitposting.

Itu menurut kami beyond sih, bagaimana sebuah hal yang formal kayak institusi pendidikan bisa punya pikiran mengutilisasi sebuah hal yang sangat tidak formal sebagai bahan marketingnya. It’s like, suatu saat nanti para teenagers mungkin bisa menjawab “aku ingin jadi memelord dan punya akun shitposting yang “make it” saat ditanya apa cita-cita mereka oleh orang lain.

HB: Internet meme punya trennya sendiri yang berbeda-beda tiap waktu. Apa sih biasanya yang bikin sebuah meme tiba-tiba jadi hype? So far, apa meme favorite kalian?

K: Biasanya, meme yang hype dimulai di platform Reddit atau forum lain, kemudian berkembang di Twitter dan Facebook, lalu makin sempurna ketika masuk Instagram. Buat kami meme yang keren adalah meme memungkinkan digunakan orang banyak untuk mengekspresikan opininya. Sebagai contoh, meme Flynn dari film animasi Tangled yang sedang diacungi pedang.

Kami sempat memakai meme itu untuk memancing unpopular opinion tentang Bali dari followers kami. Ratusan orang berkontribusi dan mengeluarkan opini-opini tidak populernya tentang Bali — beberapa opini berisikan keresahan sensitif tentang tradisi, adat, dan budaya.

The next thing we know, opini-opini tersebut masuk ke berita-berita lokal Bali dan jadi bahan debat kusir di grup-grup Facebook yang berisikan ibu-ibu dan bapak-bapak seRRRammm x n666erii. Kami sampai harus bikin klarifikasi lewat sebuah episode podcast, kalo kami hanya media penyalur dan bukan pemilik opini-opini tersebut. Silly!

HB: Meme bukan lagi jadi bahan lucu-lucuan aja, tapi jadi semacam suara, kritik, bahkan menjadi bentuk support buat berbagai hal positif. Buat kalian sendiri, ada nggak pesan yang mau kalian sampaikan lewat meme or shitposting?

K: Betul sih, memang meme bisa jadi media yang cukup serius. Sebagai contoh, di Kismin Boys sendiri, kami cukup sering menggunakan meme sebagai media untuk sedikit banyak melakukan peran sebagai masyarakuts yang baik. Misal, melakukan kritik sosial — entah tentang hal simpel seperti jalan berlubang diiringi satir ke pemangku pementingan, sampai kepada ketimpangan sosial, diskriminasi, dan gentrifikasi yang masih jamak terjadi di Bali hingga saat ini.

Biasanya, kritik yang disampaikan dengan cara seperti ini justru akan mengundang simpati dan partisipasi orang banyak, walaupun juga mengundang potensi dikriminalisasi dengan UU ITE, hhhhh…Tapi, on the bright side, salah satu kritikan sosial yang kami sampaikan secara satir di Twitter pernah ditanggapi langsung oleh akun media sosial resmi pemerintah Kota Denpasar. Bahkan, kami sempat hampir diajak berkolaborasi, walaupun nggak pernah terwujud karena satu dan lain hal. Kalo kejadian, mungkin cukup unik juga ya, ada pemerintah kota yang collab dengan akun shitpost. Mutualisme; pemerintah dapet konten, kita-kita dapet jatah jadi pegawai honorer. Hhhhh.

HB: Gimana awalnya kalian bisa kepikiran bikin Kismin Cartel? Apa visi awal dan ke depannya?

K: Sebenarnya semua berawal dari keisengan kami untuk bikin gigs-gigs kecil yang akhirnya berujung jadi rutinitas. Gigs tersebut biasanya kami buat free entry, jadi kami harus cari sumber dana dengan jualan merch dan juga minuman di venue. Nah ternyata, merch yang kami buat biasanya dijual online dulu dan malah habis sebelum acara dimulai.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Nimsik Studios (@kismin.cartel)

Akhirnya saat pandemi menyerang, sebagian dari kami kena lay-off dan cukup bosan berdiam diri. Niat awalnya hanya untuk memberdayakan teman-teman yang banyak waktu namun niraktivitas; yang bartender jebolan beach club kami tugaskan meracik arak tradisional Bali yang di-infuse dengan bunga, tanaman herbal, dan buah-buahan. Sedangkan yang desainer ditugaskan membuat merchandise kolaborasi dengan seniman dan brand-brand lokal dalam bentuk koleksi masker.

Keduanya berjalan lancar dan akhirnya ketika kami melihat ada space kosong di tempat yang sekarang, kami pikir why the hell not? We got nothing to lose anyway, dan akhirnya Kismin Cartel berdiri.

HB: Kalian baru aja buka toko Kismin Cartel di Geo. Boleh ceritain tentang konsep dan proses development toko tersebut? Dan apa tanggapan komunitas lokal akan toko ini?

K: Sebagai background, Kismin Cartel adalah sebuah unit usaha di Kerobokan yang kami dirikan dengan konsep toko retail dan arak bar. Dari segi arsitektural, kami berkolaborasi dengan Arya Triandana dari trio “beer+es = beres” asal Bali; Rollfast, yang idenya bermanifestasi dalam bentuk Bwah Spatium.

Toko retail kami berangkat dari pikiran bahwa produk dari brand-brand berkualitas yang kami ikuti rata-rata belum dijual secara offline di Bali. Akhirnya kami berinisiatif untuk membuat sebuah toko yang berisikan brand-brand tersebut, bersamaan dengan produk rilisan Kismin Boys sendiri.

Sedangkan untuk arak bar sendiri, kami sejauh ini masih fokus untuk mengedepankan arak produksi Kismin Boys. Arak kami sendiri memang kami buat menjauhi stereotipe arak dan minuman beralkohol tradisional lainnya yang rata-rata rasanya strong dan tidak enjoyable, namun karena harganya murah, tetap ada banyak orang yang mengonsumsinya hanya karena tidak ada pilihan.

Hal tersebut coba kami twist, dengan cara membuat lineup arak yang rasa araknya sudah hampir hilang dan digantikan dengan rasa infuse dari buah dan bunga yang juga beraroma menarik. Harapannya, minuman produksi kami bisa dinikmati dengan lebih bijaksana oleh para pemesan – bukan untuk mabuk-mabukan dan wasted, tapi untuk chill dan pelengkap suasana saat berkumpul.

Nah, kami cukup beruntung untuk bisa menyewa tempat yang cukup luas dan punya area terbuka. Hal ini kami manfaatkan untuk beberapa kali berkolaborasi dengan entitas-entitas lokal dalam membuat movement ataupun event dan akhirnya space ini jadi lumayan ok dan bermanfaat bagi skena di Bali.

“Kami sih berharap adanya transfer ilmu dari orang luar Bali kepada anak lokal Bali, dan juga sebaliknya. Sehingga semoga hasil dari perpaduan tersebut membuat kultur komunitas dan kesenian di pulau ini yang menjadi jauh lebih kaya dan diverse. Sebuah investasi masa depan di skena kreatif pulau ini.”
HB: Gimana kalian melihat industri lokal di Bali? Mengingat banyak banget brand lokal (apparel, homewares, accessories, F&B, jasa) yang sangat berpotensial untuk berkembang lebih jauh baik di market Indonesia maupun Internasional.

K: Sebenarnya, industri dan brand lokal Bali (lagi-lagi sebelum pandemi) punya segalanya. Supplier bahan yang lengkap dan berkualitas, model dan fotografer yang profesional, spot foto yang tidak ada habisnya, ditambah pembeli potensial yang datang yang sangat berlimpah baik lokal maupun internasional. Apalagi kalo urusan Hospitality dan F&B, Bali jauh di atas daerah-daerah lain di Indonesia, bisa dibilang di sinilah orang-orang terbaik dari seluruh penjuru negeri berkumpul untuk urusan itu.

Namun tampaknya keunggulan-keunggulan ini juga jadi pisau bermata dua bagi industri kreatif di Bali. Sebagai contoh, karena target marketnya amat besar – bisa dibilang tinggal bikin produk yang biasa aja asal dijual di daerah penuh turis, penjualan pasti akan stoOoOnk. Belum lagi, dimudahkan oleh kaum muda Bali yang menurut kami cukup konsumtif dalam memburu barang yang didiskon gila-gilaan. Jadi sense untuk ngulik dan bikin produk yang monumental sedikit kurang kuat.

Hal lain sih mungkin karena the vibes, man. Bali itu slow living banget. Orang-orang yang punya brand keren di sini either orang yang udah pernah tinggal di luar atau punya knowledge dan taste yang ok banget. Belum lagi ongkos produksi di sini lumayan jauh lebih mahal dibanding di Jawa, jadi menurut kami cukup menyurutkan niat untuk bikin brand keren, sih. Mending bikin bootleg kaos surf atau baju barong, trus dijual di Legian. He he he.

HB: Menurut kalian apa hal yang perlu ditingkatin dari industri kreatif di Bali?

K: Mungkin saat udah banyak brand, band, atau seniman Bali yang kelihatan bisa “make it” di luar Bali, dengan sendirinya akan ada orang-orang yang termotivasi untuk bisa sampai di titik yang sama, either itu pelaku yang mulai merintis sesuatu, ataupun stakeholders yang mulai pengen untuk support lebih. Hal ini sudah kami amati terjadi di beberapa era dan zaman, sih. Berhubung kultur “viral-based community” kita di sini cukup kuat, jadi hal tersebut akan berjalan organik aja. Yhaa, semoga ke depannya makin edan-edanan lah industri kreatif di Bali.

HB: Dalam kolaborasi BINTANG “Bersama Bali”, kalian sengaja menampilkan design yang cukup berbeda dengan eksplorasi 3D dan palet warna yang terinspirasi oleh BINTANG. Kok kalian bisa kepikiran bikin design tersebut sih?

K: Untuk kami yang besar di Bali, logo Bintang adalah logo yang paling familiar dan ikonik karena sudah akrab beredar sejak kami kecil dalam bentuk bootleg merchandise di artshop-artshop seputar Kuta dan Sanur (entah kenapa ironisnya kami masyarakat Bali malah menyebut toko baju bootleg dengan sebutan artshop, hahaha).

Konsep 3D datang dari salah satu desainer kami yang memang jago mendesain 3D. Ketika diberikan challenge untuk memodifikasi logo tersebut, yang kami pikirkan adalah alih-alih mendesain another vintage logo of BINTANG, let’s make something fresh — logo 3D dengan palet warna khas Bintang.

Konsep dasar bawah lautnya sendiri dibuat karena Bali terkenal dengan pantainya. Sesimpel itu. Namun basically, kami selalu berkeinginan agar sebuah desain punya nilai ambiguitas yang bisa dipandang melalui kacamata utopis maupun distopis, begitu pun desain “Bersama Bali” ini.

HB: Di Bali sendiri punya banyak banget komunitas dan “warna” yang berbeda tapi sama. Apa sih benang merah yang bikin Bali menjadi Bali?

K: Mungkin karena Bali adalah pulau yang kecil, sehingga orang-orangnya hampir bisa dibilang itu-itu aja sejak dulu hingga sekarang, di tren dan zaman apapun. Akibatnya adalah komunitasnya banyak, tapi terkesan “sama”. Tapi, kami pikir seiring dengan peak-nya pariwisata Bali beberapa tahun sebelum pandemi, kehadiran banyak orang luar Bali yang pindah ke sini dan berkomunitas, banyak memberi warna baru.

Kami sih berharap adanya transfer ilmu dari orang luar Bali kepada anak lokal Bali, dan juga sebaliknya. Sehingga semoga hasil dari perpaduan tersebut membuat kultur komunitas dan kesenian di pulau ini yang menjadi jauh lebih kaya dan diverse. Sebuah investasi masa depan di skena kreatif pulau ini.

HB: Output kreatif kalian sangat beragam. Mulai dari Kismin Podcast sampai Cartel. What’s next for Kismin Boys?

K: Kalo pengennya sih, dapet investor trus bikin beach club, bikin villa Ed666y nan aEsThEtiC, jualan kavling tanah, atau jualan perumahan cluster kecil-kecilan. Haha no no, ke depannya masih kayak biasa, tergantung ide dan opportunity yang dateng, kalo tepat secara timing dan kita bisa eksekusi, biasanya jadi tu barang.

Tapi yang pasti, selain menggarap project-project internal kolektif, satu hal yang juga akan menjadi roots dari Kismin Boys adalah kolaborasi. Pasca pandemi, kami banyak bertemu dan berkolaborasi dengan orang-orang baru yang punya ide-ide brilian, dan hasilnya cukup memuaskan. Karena itu, menurut kami untuk selanjutnya, kolaborasy masih akan menjadi kuncy.

HB: Apa harapan kalian buat Bali ke depannya?

K: Bali, please come back stronger, come back better. Biar bisa bilang “mennn, the party last night was like litttt sekali, dewddd” tiap hari.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

Berbincang dengan Kendra Ahimsa Soal Karyanya yang One of a Kind
Seni

Berbincang dengan Kendra Ahimsa Soal Karyanya yang One of a Kind

Presented by A Mild
Dari proses kreatif, NFT, hingga pandangannya soal pentingnya punya style sendiri dalam berkarya.

Indonesia Tahan Imbang Vietnam, Tetap Pimpin Grup B Piala AFF 2020
Olahraga

Indonesia Tahan Imbang Vietnam, Tetap Pimpin Grup B Piala AFF 2020

Tinggal berhadapan dengan Malaysia di laga terakhir grup.

Sergio Agüero Resmi Pensiun dari Sepakbola
Olahraga

Sergio Agüero Resmi Pensiun dari Sepakbola

Diumumkan lewat konferensi pers yang emosional dan mengharukan.

OPPO Indonesia Berkolaborasi dengan Anti Social Social Club untuk Rilis Capsule Collection Eksklusif Indonesia
Fashion

OPPO Indonesia Berkolaborasi dengan Anti Social Social Club untuk Rilis Capsule Collection Eksklusif Indonesia

Menghadirkan OPPO Reno6 5G, OPPO Enco X, dan lineup apparel & aksesoris dengan grafis “CALL ME BACK”.

Edisi Pertama Buku 'Harry Potter and the Philosopher's Stone' Terjual 6,7 Miliar Rupiah
Hiburan

Edisi Pertama Buku 'Harry Potter and the Philosopher's Stone' Terjual 6,7 Miliar Rupiah

Tembus rekor karya fiksi termahal di dunia dari abad ke-20.


Louis Vuitton Merilis Men's Collection Terakhir  Virgil Abloh untuk Pre-Fall 2022
Fashion

Louis Vuitton Merilis Men's Collection Terakhir Virgil Abloh untuk Pre-Fall 2022

Cek koleksi yang meredefine menswear tersebut di sini.

LaMunai Records Siap Gelar 'De La Show' Edisi Bali
Musik

LaMunai Records Siap Gelar 'De La Show' Edisi Bali

Menampilkan sejumlah roster dari label rekaman independen asal Jakarta tersebut.

HypeArt dan HBX Siap Luncurkan Buku 'The All Mighty' Karya Kostas Seremetis
Seni

HypeArt dan HBX Siap Luncurkan Buku 'The All Mighty' Karya Kostas Seremetis

Menampilkan 43 original artworks milik seniman asal New York tersebut.

OBEY Rilis No. 1 Fragrance buat Jadi Kado Natal Istimewa Tahun Ini
Fashion

OBEY Rilis No. 1 Fragrance buat Jadi Kado Natal Istimewa Tahun Ini

Hanya diproduksi sebanyak 100 pcs.

Kaos Charity Rancangan Banksy untuk "Colston Four" Mencapai Harga Resell hingga Puluhan Juta
Fashion

Kaos Charity Rancangan Banksy untuk "Colston Four" Mencapai Harga Resell hingga Puluhan Juta

Padahal harga aslinya sekitar 600 ribu IDR.

More ▾