Aji Handoko Blak-blakan Bicara Kolaborasi, Kontroversi, dan Visinya Untuk Sepatu Compass

Serta cerita di balik project ‘Artificial Vibration’ Sepatu Compass bareng Tame Impala.

Footwear
106,437 Hypes

Jauh sebelum jadi Creative Director Sepatu Compass, Aji Handoko atau yang biasa disapa Gonjel sudah lama berkecimpung di industri kreatif mulai dari sneakers hingga streetwear. Latar belakangnya pun bisa dibilang cukup beragam di mana dirinya pernah mengawali karir di industri retail sebagai store manager di ‘The Locker’ kemudian sebagai designer untuk beberapa brand lokal seperti ‘TIMEBOMB’, ‘Hardware Clothing’, ‘ARL Footwear’, sampai ‘Elders Company’.

Di tahun 2017, Aji bertemu dengan Kahar Gunawan, owner dari brand sepatu heritage asal Bandung, Sepatu Compass, yang saat itu tengah berusaha bangkit dari keterpurukan. Nggak pake lama, Aji berhasil memberikan energi segar ke dalam Sepatu Compass lewat rebranding yang berfokus pada design, produk, konten, hingga program yang relevan dengan kondisi pasar. Fast forward ke hari ini, Sepatu Compass nggak cuma ikut memajukan semangat brand-brand lokal dalam berkarya tapi juga berhasil menginspirasi para pelaku industri buat berpikir dan melangkah lebih jauh lewat kolaborasi.

Kami berkesempatan untuk ngobrol dengan Aji buat membahas soal konsep di balik project “Artificial Vibration”, pentingnya tim dan komunitas sebagai support system, kontroversi seputar Sepatu Compass, hingga visinya dalam beberapa tahun ke depan.


HB: Jel, kita penasaran pas pertama kali gabung ke Compass, lo bakalan nyangka nggak akan sebesar ini? Apa visi awal lo dulu?

A: Jujur ngga sih, tapi gue punya keyakinan aja gue akan bisa melangkah lebih jauh bersama merek ini karena kebebasan total yang gue dapet. Visinya clear sih, gue sama Pak Gunawan (owner) emang pengen banget ada brand yang bisa menjadi kebanggan buat Indonesia.

HB: Sekarang banyak brand sepatu lokal yang bermunculan dan nggak bisa dipungkiri Compass punya andil yang cukup besar dalam mempopulerkan demand yang ada. Apa tanggapan lo soal ini?

A: Gue sih seneng kalau ada yang menganggap Compass punya andil besar dalam industri sepatu Indonesia ini, gue malah ngga pernah denger.

HB: Perjalanan Compass nggak terlepas dari berbagai kontroversi. Gimana cara lo melewati ini semua?

A: Gue cuma bisa fokus dengan bikin karya sebagus-bagusnya, jadi biar semua orang nilai gue dari apa yang gue bikin aja sih. Dan yang pasti peranan keluarga besar Compass yang kuatin gue, keluarga besar Compass disini adalah semua ekosistem yang terlibat dalam perjalanannya Compass, dari teman-teman Compass, tim internal, friends & family, sampe staff-staff pabrik yang selalu jagain gue dan dukung gue banget.

HB: Apa pro dan kontra tentang produksi di sini?

A: Gue belajar banyak banget dari semua experience Pak Gunawan ketika bikin pabrik dari tahun 1983, beberapa kali gulung tikar dsb. Ketika kita mau scale up itu bukan masalah lu bisa produksi sebanyak-banyaknya, tapi gimana ketika company harus grow semua yang terlibat di sekitarnya harus grow bareng. Bukan soal kesiapan finansial, tapi gimana faktor-faktor lainnya juga berperan, dari back-end sampai front-end harus mau lari bareng.

HB: Banyak orang bilang Compass kurang accessible buat market lokal karena supply nggak sebanding sama demand. Apa tanggapan lo soal ini? Apakah ini ada kaitannya sama kapabilitas produksi Sepatu Compass?

A: Ngga ada masalah dengan proses produksi Compass, karena yah sekarang sanggupnya cuma segitu, makanya kita mau nikmatin proses organik bertumbuhnya merek ini.

HB: Lo sempet bilang demand paling banyak datang dari Jakarta. Gimana dengan daerah lain? Apa yang menarik dari masing-masing region tersebut?

A: Betul, karena emang kita fokus di Jakarta dan Pulau Jawa. Karena gue yakin banget kalau kita bisa megang market itu seluruh daerah bakalan ikutan. Kita lagi fokus juga untuk pemerataan ke luar-luar daerah seperti Sulawesi, Sumatra, Bali sampai ke Kalimantan.

HB: Market mana yang lagi lo incer? Fokus gedein di dalam atau mulai ekspansi ke luar negeri?

A: Market Indonesia udah pasti jadi fokus utama dan dengan perlahan-lahan mulai ke regional Asia dulu kita mulai untuk selanjutnya coba ke ranah Global.

“Semuanya mulai dari apa yang gue suka secara personal karena gue kerja pake rasa, jadi ketika kolaborasi gue harus tau banget karakternya biar gue bisa mentranslate si esensi kolaborator ke dalam medium sepatu.”

HB: Once sepatu vulcanized mulai oversaturated, apa plan lo ke depan? Lo bakal stay atau cari jalan berbeda lewat model sepatu lain?

A: Nah sebenarnya dari awal gue rebranding Compass, gue pengen bawa unsur nostalgia dalam semua desain dan directionnya, jadi semua line produk pun akan ada sentuhan-sentuhan nostalgia. 2022 kita akan menghadirkan sepatu-sepatu cementing dari cupsole dan running shoes, yang pastinya tetep menghadirkan unsur yang vintage namun relevan.

HB: Menurut lo seberapa penting social media dalam membesarkan Compass?

A: Penting banget, justru kita manfaatin konsep social media untuk bisa balik lagi ke jaman marketing terdahulu, nyebarin agama. Gimana strateginya menghadirkan sesuatu yang bisa diyakini sama hati lu, dan dengan kerendahan hati apa yang lu yakini akan lu sampein lagi ke orang lain lewat dialog atau postingan media sosial.

Pernah ngga liat campaign Compass yang maksa customer harus beli? Ngga kan.. Jadi di sosial media kita selalu menghadirkan sebuah konten yang emang jujur aja gitu apa adanya, buat yang mau-mau aja.

“Bisa aja gue ikutin metode pada umumnya ketika berkesempatan kolaborasi sama musisi ya tinggal beli license artwork aja, ataupun hire artist untuk merespon lagu menjadi artwork, gue ngga lakuin itu. Gue mau lebih dalem dari cuma print artwork Tame Impala.”

HB: Gimana sih approach lo dalam kolaborasi?

A: Semuanya mulai dari apa yang gue suka secara personal karena gue kerja pake rasa, jadi ketika kolaborasi gue harus tau banget karakternya biar gue bisa mentranslate si esensi kolaborator ke dalam medium sepatu. Jadi gue bisa bilang yah kita bercerita bareng, bikin journey bareng yang intim banget.

HB: Apa konsep di balik kolaborasi Compass dan Tame Impala?

A: Tame Impala itu yah “mood”. Cuma itu yang ada di kepala gue ketika mulai proses kreatif kolaborasi ini. Gue cuma bayangin sebuah corak liquid atau tie-dye di campaign ini. Gue nggak mau si corak itu dibuat di Photoshop, Illustrator ataupun beli di internet makanya gue telfon sahabat gue Satriya dan Glee dari Maika Collective.

Briefnya simpel, “Bisa ngga lu bikin sebuah pattern tie-dye dari angka atau kode?”.

Dari situlah dilibatkannya teknisi, orang-orang IT dan multimedia Maika untuk develop sebuah metode yang bisa generate pattern dari sebuah angka. Munculan gagasan mengekstrak lagu Tame Impala menjadi sebuah data set yang selanjutnya dengan metode-metode dan program tambahan si data tersebut bisa di generate menjadi sebuah pattern.

Bisa aja gue ikutin metode pada umumnya ketika berkesempatan kolaborasi sama musisi ya tinggal beli license artwork aja, ataupun hire artist untuk merespon lagu menjadi artwork, gue ngga lakuin itu. Gue mau lebih dalem dari cuma print artwork Tame Impala.

Secara teknis energi Kevin Parker ketika dia nulis dan rekaman akan nemenin lu ditiap langkah yang lu buat, karena ketika campaign ini berakhir yang bisa diinget itu justru proses kreatifnya, bukan produknya.

HB: Apa reaksi Kevin Parker pas tahu soal konsepnya? Kenapa lagu “Yes I’m Changing”, “The Less I Know The Better”, dan “Lost In Yesterday” yang dipilih? Ada specific message yang mau disampein kah lewat lagu-lagu ini?

A: “POWERFUL IDEA!”, itu yang dia sampein pas kita zoom pertama kali present deck ‘Artificial Vibration’. Jadi sebenarnya lagu di Spectrum 3 itu adalah “Solitude is bliss”, terus Kevin minta ganti ke “Lost in Yesterday” dengan penggalan lirik “Eventually terrible memories turn into great ones”.

Pemilihan lagu jujur karena gue suka dan relate aja kalo penggalan lirik lagu tersebut dijadiin journey dari masing-masing Spectrum. Begitupun dengan pemilihan lagu “The Less I Know The Better” yang jadi materi campaign, tujuannya biar dapet growth dari market anak-anak sekarang. Kalo respon teman-teman seangkatan gue mah pada menyesalkan kenapa ngga pake lagu “It Feels Like Only Going Backwards”.

HB: Spill dong soal next project lo tahun depan!

A: Gue belum bisa ngomong apa-apa, karena gue juga belom tau hahaha. Yang pasti kalau rilisan core atau seasonal kita udah siap buat 2022, tapi rilisan kolaborasi nunggu wangsit dulu, mau yang mana dikeluarin duluan.

HB: Dalam lima tahun ke depan, apa yang lo mau capai buat Compass dan diri lo pribadi?

A: Punya kantor sendiri yang asik tahun depan…aminnnn.
Nambahin kapasitas produksi…aminnnn.
Punya experience store di Jakarta & luar negri…aminnnn.
Kolaborasi bareng sama idola-idola gue…aminnnn.
Nembusin benchmark baru lagi di tiap-tiap kesempatan…aminnn.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

SOMETHING PRELUDE Meluncurkan First Drop Koleksi Perdana, "Whatever/Whatever"
Fashion

SOMETHING PRELUDE Meluncurkan First Drop Koleksi Perdana, "Whatever/Whatever"

Channeling style flyer gigs 90an buat grafisnya.

New Balance Digugat Atas Marketing "MADE IN THE USA"
Footwear

New Balance Digugat Atas Marketing "MADE IN THE USA"

Ini alasannya.

WACKO MARIA Rilis Koleksi yang Berkolaborasi dengan Film Jepang 'Madness in Bloom'
Fashion

WACKO MARIA Rilis Koleksi yang Berkolaborasi dengan Film Jepang 'Madness in Bloom'

Ngerayain 20 tahunan film tersebut.

Levi's®︎ x BEAMS Luncurkan Koleksi Kolaboratif Ketiga Mereka, 'SUPER WIDE COLLECTION'
Fashion

Levi's®︎ x BEAMS Luncurkan Koleksi Kolaboratif Ketiga Mereka, 'SUPER WIDE COLLECTION'

Cek langsung di sini.

Marvel Merilis Teaser yang Nunjukkin Crossover antara 'Avengers', 'X-Men', dan 'Eternals'
Hiburan

Marvel Merilis Teaser yang Nunjukkin Crossover antara 'Avengers', 'X-Men', dan 'Eternals'

Berpotensi jadi momen paling epic dalam universe komik Marvel.


Fitur Autopilot Mobil Tesla "Membantu" Seorang Wanita Melahirkan
Tech & Gadgets

Fitur Autopilot Mobil Tesla "Membantu" Seorang Wanita Melahirkan

”Tesla baby” pertama dalam sejarah.

Nike Rilis Dunk Low “Paisley” dengan Motif Paisley Monokrom
Footwear

Nike Rilis Dunk Low “Paisley” dengan Motif Paisley Monokrom

Cek detailnya berikut ini.

Turki Resmi Izinkan Warga Negara Indonesia Masuk Bebas Visa
Travel

Turki Resmi Izinkan Warga Negara Indonesia Masuk Bebas Visa

Berlaku selama 30 hari.

Stüssy x Nike Dikabarkan Siap Rilis Air Max Penny 5
Footwear

Stüssy x Nike Dikabarkan Siap Rilis Air Max Penny 5

“Orlando” colorway?

Schinkel Pavillon Berlin Gelar Pameran "H.R. Giger & Mire Lee"
Seni

Schinkel Pavillon Berlin Gelar Pameran "H.R. Giger & Mire Lee"

Dikurasi oleh Agnes Gryczkowska.

More ▾