Chrissy Lafian dari SUKU Home Bicara soal Plagiarisme dan Pentingnya 'Staying True to the Roots'
Founder brand leisurewear ikonik ini bercerita tentang awal perjalanannya, moving on, dan visi besarnya ke depan.
Chrissy Lafian pertama kali mendirikan SUKU Home sekitar tujuh tahun lalu sebagai side hustle-nya saat bekerja full-time di sebuah high-end fashion retailer. Berangkat dengan konsep leisurewear, SUKU Home menawarkan lineup apparel, aksesoris, hingga bedding dengan original natural dyed prints yang dibuat di Indonesia.
Chrissy yang berbasis di Melbourne dengan bangga memperkenalkan SUKU Home sebagai brand asal Indonesia yang mampu menciptakan produk dengan kualitas dan originalitas yang tinggi ke market internasional lewat flagship store “Dream Baby” di Fitzroy, Melbourne, hingga ke Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Indonesia.
Di tengah kesibukannya mengatur project dan tim yang terbagi dua di Melbourne dan Bali, Chrissy meluangkan waktu buat ngobrol bersama kami soal perjalanannya membangun SUKU Home, pandangannya soal plagiarisme, hingga visinya ke depan.
HB: Chrissy, gimana ceritanya lo kepikiran buat bikin SUKU Home?
Chrissy: Awalnya itu karena gue baru pindah ke sharehouse, nah waktu itu gue nggak bisa nemu bedding menarik buat kamar gue, jadi gue buat deh produk sendiri. Gue orangnya suka banget sleep in dan males-malesan. Jadi SUKU lahir karena gue pengen di saat gue mager-mageran, kamar gue bagus dan bikin nyaman.
HB: Selain dari segi produk, SUKU Home juga punya visual storytelling yang kuat. Gimana lo ngedevelop visual identity ini?
C: Dari awal gue ngebangun SUKU, gue udah mengidentify target market gue dan gue selalu ngedevelop visual identity kita around this people (the SUKU people). Koleksi bisa beda-beda tapi karakter orang-orang ini selalu sama dan storytellingnya bisa kita develop beda-beda. Jadinya selalu ada benang merahnya… soalnya at the end of the day, these people are our customers.
HB: Kita juga ngelihat tim SUKU yang ada di Bali ataupun Melbourne sama-sama ngerepresent brand SUKU lewat style mereka, dan ini hal yang menarik untuk sebuah brand. Apakah lo ngeset standard style-nya atau ini kebetulan aja?
C: Gue emang mencari orang-orang yang bisa represent SUKU as the brand itself. Yang kita hire mostly orang-orang yang memang passionate sama brandnya jadi ke-translate ke personal stylenya.
HB: Instagram jadi platform yang esensial buat fashion brand yang memang imagery-driven. Di satu sisi platform ini bagus buat homegrown brands bikin statement, di sisi lainnya justru jadi tempat discovery buat brand-brand gede untuk copy mereka. Gimana tanggapan lo soal hal ini?
C: Kayaknya itu nggak bisa lo pungkiri sih. If it’s out there for people to see, there is a possibility for them to copy. At the end of the day how we build ourselves as a brand is the key, yang lain bisa aja mengcopy SUKU tapi SUKU will always be SUKU with its own uniqueness.
“Karena kejadian ini, gue langsung mikir, “ok.. gue mesti gede di Jepang”. That same year, pas orang-orang lagi heboh-hebohnya copy gue di Indo, we had 23 stockists in Japan in our first showroom season. Intinya, lo nggak boleh fokus ke satu hal yang bisa matahin semangat lo. Kalau satu nggak jalan, selalu ada jalan lain sih.”
HB: Dengan embel-embel support your local brand, banyak e-tailer lokal menyalahgunakan semangat ini untuk ngepush barang jualan mereka tanpa ngelihat kode etik dan originalitas. Gimana lo melihat fenomena ini?
C: It’s a tough world out there. Dari gue sendiri, gue lebih mencoba nggak terlalu fokus ke hal-hal kayak gini. Ya menurut gue orang-orang seperti itu ya beda values aja dan orang-orang ini bukan target market dari brand yang gue bangun.
HB: Boleh ceritain ngga apa reaksi lo pas pertama kali ngelihat pattern rancangan lo secara masif dijiplak dan dijual dengan harga yang lebih murah?
C: Kesel, sedih, gemes, kayaknya reaksi yang normal yah. Kalo lo kerja susah-susah terus ada orang yang tikung dengan cara gampang. Tapi itu malah memotivasi gue buat invest energy gue ke market lain. Waktu itu gue lagi mimpi-mimpinya gedein SUKU di Jepang, karena buat retail, Jepang terkenal tough market to get into karena mereka punya loyalitas yang tinggi ke brand. Terus jadinya karena kejadian ini, gue langsung mikir, “ok.. gue mesti gede di Jepang”. That same year, pas orang-orang lagi heboh-hebohnya copy gue di Indo, we had 23 stockists in Japan in our first showroom season.
Intinya, lo nggak boleh fokus ke satu hal yang bisa matahin semangat lo. Kalau satu nggak jalan, selalu ada jalan lain sih.
HB: Gimana hal ini mempengaruhi SUKU as a brand?
C: Seperti yang gue ceritain diatas, ini malah memotivasi kita buat do better, memaksa kita buat lebih kreatif lagi dan terbukti dengan kejadian itu sekarang kita bisa masuk ke market Jepang
HB: Apa respon loyal customer lo akan hal ini so far?
C: Loyal customer kita awalnya pasti sedih kayak kita, soalnya emang banyak banget. It feels like an attack. Cuman once they see how the brand grew stronger di Indo dan di negara lain, jadinya orang-orang nggak terlalu mikirin isu copy-copyan di Indo. Yang ada malah mereka pengen nyari yang original. Yang lebih menariknya, di Jepang bahkan ada reseller berbasis di Indonesia yang nyari SUKU original buat dijual di Jepang. Ini kita diceritain agent Jepang kita. Kocak sih!
“Gue selalu make sure dari awal mulai, gue nggak pernah mencoba menutupi background dan asal gue. Dari awal gue selalu make sure orang-orang tau gue orang Indonesia dan ini produk Indonesia. Gue nggak pernah mencoba pura-pura jadi brand western biar gue diterima sama market.”
HB: Nggak bisa dipungkiri SUKU Home ngeset satu standard baru dari segi branding di area leisurewear hingga memunculkan banyak brand yang serupa. Apa pendapat lo soal ini? Is this good or not?
C: It’s always good to set a standard dan gue seneng sih liat banyak orang starting leisurewear brand. Senang aja suatu hari diingat jadi brand yang bikin leisurewear populer di Indo.
HB: SUKU dikenal sebagai brand Indonesia yang punya kapabilitas sourcing material dan produksi lokal dengan huge demand yang datang dari luar juga. Gimana pengalaman awal lo dulu waktu introduce SUKU ke market luar? Apa initial feedback mereka?
C: Gue mulai SUKU pas gue tinggal di Australia, jadi sebenarnya brandnya gede di sini dulu baru di Indo. Awalnya nggak gampang, apalagi karena gue masuk di market anak muda (target market gue waktu itu 20-30 yrs young creatives). Untuk masuk market ini brand mesti keliatan trendy dan desireable.
Satu hal yang gue selalu make sure dari awal mulai, gue nggak pernah mencoba menutupi background dan asal gue. Dari awal gue selalu make sure orang-orang tau gue orang Indonesia dan ini produk Indonesia. Gue nggak pernah mencoba pura-pura jadi brand western biar gue diterima sama market. Menurut gue itu justru jadi nilai plus brand gue, story yang brand-brand di ini nggak punya. Surprisingly, ini malah bikin SUKU diterima di market disini.
HB: Sekarang banyak banget brand-brand baru di Indonesia yang sangat potensial dan memiliki standard yang ok. Tentunya menembus market internasional adalah mimpi mereka, ada tips dari lo untuk mereka untuk bisa go internasional?
C: Have a strong brand identity, dont try to be like “this brand or that brand”. Itu kan udah exist… bikin sesuatu yang belum exist, so it’s fresh!
HB: Kira-kira lo punya rencana buat buka toko SUKU di Indonesia dalam beberapa waktu ke depan nggak?
C: Pengen sih! Doain yah!
HB: What can we expect from SUKU Home in the future?
C: More accessible around the world!