Swara Gembira dan Misinya Merevolusi Budaya Indonesia Lewat Seni dan Kolaborasi
Pemrakarsa, Oi, ngeshare visi besarnya ke depan.
Jati diri bangsa sudah seharusnya berjalan beriringan dengan tren dan lifestyle yang terus berkembang. Sayangnya, di tengah arus kemajuan industri kreatif Indonesia yang pesat, warisan budaya Indonesia seakan terlupakan oleh mayoritas generasi mudanya. Berangkat dari kekhawatiran ini, Oi bersama rekannya, Rifan Rahman, mendirikan Swara Gembira untuk mempopulerkan legacy seni dan budaya leluhur yang terasa usang dengan twist modern yang fresh. Lewat berbagai kolaborasi bersama para talenta Indonesia dan visi kreatifnya yang unik, Oi bersama timnya berhasil menampilkan sajian pertunjukan musik, film, dan pameran yang sukses memikat banyak orang dari semua kalangan; tua dan muda.
Berbarengan dengan project terbaru Swara Gembira, ‘Pesta Wastra’ yang berlangsung dari tanggal 10-16 Juni di Lucy in the Sky, Jakarta, kami berkesempatan ngobrol bareng Oi lebih dalam tentang project tersebut, keresahannya tentang sistem pendidikan di Indonesia, sampai rencana jangka panjang serta ambisi Swara Gembira dalam merevolusi budaya Indonesia ke depan. Baca exclusive interview kami berikut ini.
HB: Hi Oi, gimana awal mulanya lo come up dengan Swara Gembira?
Oi (O): Swara Gembira lahir dari kecintaan sekaligus keresahan kami terhadap pengembangan seni budaya Indonesia. Selama puluhan dekade, seni budaya Indonesia gagal menjadi budaya populer di saat negara lain mampu menciptakan industri gaya hidup yang berakar dari budayanya, seperti Amerika Serikat dengan broadway dan budaya skatenya, Jepang dengan manga dan Harajuku-nya, hingga Korea Selatan dengan K-Pop dan mukbang-nya.
Jelas saja seni budaya Indonesia gagal menjadi budaya populer, karena budaya Indonesia kerap diasosiasikan sebagai hal yang kaku, kuno, mistis, dan tradisional sehingga terus berjarak dengan generasi muda. Hal itu menjadi titik lahir Swara Gembira, dengan mimpi besar merevolusi seni budaya Indonesia agar selaras dengan perkembangan zaman.
“Di Indonesia, senimannya bertanya “bagaimana maju ke ranah internasional secara pribadi”, namun lupa bahwa yang paling penting adalah gotong-royong untuk menciptakan identitas bersama agar industri seni budaya Indonesia naik secara bersamaan.”
HB: What would be a day in a life of Swara Gembira? Ceritain workflow kerja kalian sehari-hari!
O: Selalu ada rapat 20 menit tiap pagi jam 9 untuk memastikan tim tahu tugas masing-masing. Selama di kantor, mayoritas waktu dihabiskan untuk menciptakan konten, mempersiapkan perhelatan yang selalu ada setiap bulannya, dan seringkali menutup hari dengan ngobrol santai seputar budaya mancanegara dan melihat bagaimana kita bisa mengadaptasikan dan mengembangkan budaya Indonesia agar dapat setara dengan mereka. Pekerjaan rumah yang cukup besar karena bisa dibilang tantangan terbesar kami adalah menyetarakan seni budaya Indonesia di tengah derasnya arus hiburan dari luar.
HB: Banyak event offline yang bermunculan setelah pandemi, boleh share dikit project terdekat kalian?
O: Pesta Wastra, 10-16 Juni 2022 di Lucy in the Sky SCBD. Acara ini merupakan acara rutin kami, sebuah perayaan kain nusantara para remaja. Akan ada pameran wastra berkolaborasi bersama Tara Basro, Eva Celia, Rachel Amanda, dan Arawinda Kirana. Akan dijual pula ribuan kain nusantara yang telah kami kurasi agar sesuai dengan selera masa kini, serta pesta dansa 7 hari 7 malam yang diramaikan oleh bintang kejutan ibukota dan ditutup oleh penampilan dari Lomba Sihir & Romantic Echoes.
View this post on Instagram
HB: Swara Gembira selalu memberikan performance menarik yang terus diingat banyak orang. Apa sih key elements dari kesuksesan kalian?
O: Kuncinya revolusi & pengembangan. Seni budaya itu harus merespon zaman. Kan nggak mungkin remaja Eropa diminta terus mendengarkan musik klasik zaman Beethoven karena musik klasik berkembang menjadi ribuan aliran musik yang kini bertebaran. Atau meminta mereka mengenakan gaun era Victorian dengan corak kompleks & rotan sebagai fondasi. Indonesia juga sama. Kalau remaja Indonesia diminta untuk melihat sajian seni klasik dengan gamelan Jawa yang dari abad 16 hingga sekarang terus sama, jelas hal ini tidak akan menciptakan ketertarikan bagi generasi muda. Pengembangan itu penting, asal tetap memahami akarnya agar dikembangkan secara tepat.
“Saat ini kami lebih banyak fokus kepada pasar dalam negeri. Mengapa? Karena ya pekerjaan rumah kita masih banyak. Ada lebih dari 150 juta Gen Z & Milenial di Indonesia yang harusnya menjadi fokus utama kita.”
HB: Sejauh ini, apa aja bentuk perubahaan persepsi masyarakat terhadap seni Indonesia sejak Swara Gembira maju ke popular culture?
O: Perubahan persepsi tentu terjadi. Sesederhana memadukan wastra nusantara dengan busana masa kini mulai dari oversized tee dan sneakers untuk sekadar nongkrong di gerai belanja ibukota atau mulai antusias mendengarkan lagu-lagu Indonesia di tempat hiburan malam. Tagar #berkainbersama yang kami populerkan berhasil ditonton lebih dari 300 juta pasang mata di kanal Tiktok, yang menandakan bahwa seni budaya Indonesia sudah menjadi konsumsi publik dibandingkan produk eksotis yang dikonsumsi karena rasa iba.
HB: Gimana response audience luar so far?
O: Saat ini kami lebih banyak fokus kepada pasar dalam negeri. Mengapa? Karena ya pekerjaan rumah kita masih banyak. Ada lebih dari 150 juta Gen Z & Milenial di Indonesia yang harusnya menjadi fokus utama kita. Buat kami, pasar luar itu bonus lah. Namun tidak menutup kemungkinan kolaborasi kami di masa depan dengan pelaku budaya populer luar mampu menghasilkan dampak yang lebih luas lagi.
HB: Menurut kalian, ada nggak sih kaitannya antara apresiasi seni budaya Indonesia antar generasi ke sistem pendidikan kita? Apa usaha yang harus ditambah? Atau mungkin ada faktor lain yang bener-bener krusial tapi belum dilakukan?
O: Jelas ada. Sistem pendidikan Indonesia sangat buruk dalam mengembangkan seni budaya Indonesia. Fokusnya hapalan, purist (fokus ke filosofi lah apa lah) tanpa melihat bagaimana mengadaptasi seni budaya menjadi budaya populer. Lebih ironis lagi, tidak ada kurikula yang diciptakan sesuai kebutuhan. Mungkin tidak ada sekolah fashion ternama yang menciptakan kurikula seni draperi wastra. Semua serba kontemporer (global), atau tradisional.
HB: Menurut kalian, what’s missing from Indonesian artists right now?
O: Semangat gotong-royong untuk memperjuangkan pengembangan seni budaya Indonesia. Korea itu grand design yang luar biasa. K-POP maju duluan, penyanyinya semua menggunakan bahasa Korea secara dominan pada syairnya, padahal bisa tenar mudah dengan bahasa Inggris. Mengapa? Karena pembiasaan bahasa penting untuk penetrasi industri lainnya, salah satunya film. Film Korea seperti Parasite & Squid Game nggak akan bisa tenar kalau pasar tidak dibiasakan mendengarkan aksen dan bahasa Korea. Dan tidak mungkin kan memaksa puluhan ribu pemeran film Korea untuk fasih bahasa Inggris?
Di Indonesia, senimannya bertanya “bagaimana maju ke ranah internasional secara pribadi” namun lupa bahwa yang paling penting adalah gotong-royong untuk menciptakan identitas bersama agar industri seni budaya Indonesia naik secara bersamaan.
HB: Selain melalui seni pertunjukan, gimana cara seluruh masyarakat bisa berpartisipasi buat meng-Indonesiakan Indonesia?
O: Banyak hal, karya tidak dibatasi hanya seni pertunjukan. Pemilihan bahasa dalam bercakap, busana yang dikenakan, musik yang didengar di pemutar musik kita, hingga jenis hiburan yang kita konsumsi sepanjang akhir pekan. Semua ini bisa menjadi wujud perjuangan bagi seni budaya Indonesia.
HB: Ada nggak artist luar yang mau kalian invite buat tampil di acara Swara Gembira? In a sense that they will perform Indonesian art and keep the Swara Gembira’s mission intact.
O: Sangat banyak. Semua seniman populer luar negeri, mulai dari Bruno Mars, Beyonce, hingga karakter-karakter dalam seni animasi Jepang dapat dipadukan dengan seni budaya Indonesia dengan cara yang tepat. Yang perlu dipastikan adalah ketika kolaborasi ini terjadi, orang lebih melihat bahwa “seni budaya Indonesia itu the new orange” bukan sekadar “wah eksotis ya melihat Bruno Mars berbahasa Jawa”.
HB: Kalau kalian bisa bikin dream team dari seluruh artist Indonesia dari dulu sampai sekarang, siapa aja yang kalian ajak collab?
Pertanyaan sulit karena semua seniman pengisi acara kami punya keunikan dan peran tersendiri. Namun masih jadi pekerjaan rumah besar bagi kami untuk menciptakan Trio Wanita, yang mampu menampilkan sajian kolosal Swara Gembira. Seru kali ya kumpulin Raisa, Isyana, dan Andien / Yura Yunita jadi trio di satu panggung.
HB: Sebutin tiga creative baru yang pengen banget kalian ajak collab!
O: Banyak banget yang ingin kami ajak kerjasama. Namun kami ingin memperluas pengaruh kami di hal-hal baru yang belum terjamah, misalkan bersama Visinema dalam industri film, bersama Karafuru dalam industri NFT, dan bersama Zodiac / Pleasure di industri gaya hidup.
HB: Dalam lima tahun ke depan, kalian pengen Swara Gembira dikenal sebagai apa?
O: Kami ingin dikenal sebagai rumah dari revolusi seni budaya Indonesia.