Memperkenalkan Kultur Indonesia ke Market Global lewat Eksplorasi Visual Ryan Adyputra

Dan bagaimana proses kreatif dan komunitas menjadi support system yang sangat penting.

Fashion
3.6K

Ryan Adyputra, nama visual artist dan illustrator asal Jogjakarta ini sudah tidak asing lagi di industri kreatif tanah air dalam beberapa tahun terakhir. Ia merintis karirnya dengan karya illustrasinya yang menarik atensi publik, baik di lokal ataupun internasional. Jalannya semakin terbuka saat Ia merilis label miliknya, Domestik yang membawa semangat lokal yang dikemas dengan tampilan yang sangat relevan dengan market saat ini.

Lewat sejumlah koleksi yang terinspirasi oleh berbagai kultur asli Indonesia, mulai dari film, musik, fenomena sosial, fotografi hingga elemen-elemen visual yang sering kita temui sehari-hari, Ryan dan Domestik berhasil memperkenalkan estetika lokal Indonesia kepada market internasional melalui retail-retail terbaik dunia seperti Dover Street Market, Très Bien, hingga atmos. Sebagai seorang artist, Ryan juga berkontribusi banyak dengan melakukan kolaborasi bersama beberapa label lokal seperti Zodiac, Nothing, Pot Meets Pop, Potato Head, hingga label internasional seperti X-Large, Token NYC, serta CNY NYC milik Peter Sutherland.

Kali ini HYPEBEAST Indonesia berbincang dengan Ryan Adyputra tentang cerita di balik Domestik, proses kreatif, kolaborasi, serta  pandangannya tentang streetwear culture lokal. Simak obrolan kami di bawah ini.


HB: Mulai dari designer sampai jadi illustrator, background kamu dalam dunia visual bisa dibilang sangat kuat. Tapi yang paling menarik adalah identitas karyamu yang berfokus pada ancient times dan graphic Indonesia yang kamu ciptain dengan output yang modern dan relevan untuk Domestik. Ceritain dong gimana awalnya kamu bisa come up dengan konsep tersebut?

R: Saat itu di tengah tahun 2016 aku lagi stuck banget sama karya personalku. Apalagi dengan tipe drawingku dan tema waktu itu kayanya udah “too much” banget deh. Pengen bikin suatu hal yang beda dari karyaku sebelumnya. Saat itu aku udah merasa “tahu” sama sejarah dan budayaku atau merasa mengenal orang sekitarku. Tapi ternyata dari situ aku ngerasa banyak banget hal yang aku nggak tahu dan akhirnya kayak tanya ke diri sendiri tentang “siapa dan dari mana aku?”. Pengetahuanku sama sejarah dan budaya Indonesia kok rasanya “basic” banget. Aku dari kemarin ke mana aja sih kok sama hal-hal kaya gini aku nggak tahu hahaha. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat beberapa graphic, dan medium satu-satunya yang aku pikirin saat itu cuma T-shirt. Saat itupun aku belum kepikiran ini jadi sebuah brand, mungkin posisinya cuma merch aja, intinya iseng lah. Jadi bisa dibilang adanya Domestik itu nggak sengaja. Terus akhirnya aku bikin koleksi pertama itu, yang isinya juga sebatas pengetahuanku yang basic tadi haha.

HB: Baik market lokal ataupun internasional semuanya merespon secara positif product offering Domestik. Apa message yang mau kamu sampein lewat Domestik?

R: Aku nggak punya message secara spesifik, misalnya biar orang lain juga aware sama budaya Indonesia. Kayanya bakal keliatan terlalu berat ya haha. Lagian hal kayak gitu nggak bisa dipaksain juga nggak sih? haha. Di Domestik ini aku cuma mau main-main aja kok, digging hal yang aku nggak tahu, hal yang udah ada di Indonesia, ngumpulin knowledge, kayak main puzzle lah. Biarin orang lain atau publik yang menilai dengan pengalaman dan pemahamannya masing-masing. Kalaupun publik nantinya akan suka, merasa keren dengan apa yang dia lihat dari graphic-graphic-nya Domestik atau bahkan jadi aware sama budayanya, itu bonus aja buat aku. Kalaupun message, mungkin juga lebih tematik dari full collectionnya atau secara potongan-potongan dari judul artikel dan graphicnya itu sendiri. Aku juga nggak pernah mau paksain orang untuk paham juga sih.  

HB: Kita bisa lihat sejak Domestik muncul, graphic ancient Indonesia yang dikemas dengan output modern menjadi sebuah semangat baru. Mulai dari munculnya visual-visual dengan tema yang sama dari beberapa brand atau designer lokal hingga style graphic ini berhasil mencuri perhatian dari artist-artist dan market luar, karena menurut mereka ini merupakan sebuah visual yang eksotis. Bagaimana kamu merespon hal ini?

R: Eksotis secara deskripsi bahasa mungkin iya, karena visual-visual tersebut emang jarang dilihat dan nggak begitu dikenal umum. Karena pada dasarnya kita pasti juga selalu ingin mencari hal-hal yang baru atau hal yang tidak umum. Tapi eksotis untuk arti yang “menjual” sih nggak begitu hahaha. Jadi di situ sebenernya tantangannya, untuk kita yang biasa dengan visual-visual yang populer terus bikin dari visual dan tema yang mungkin nggak begitu populer.

Kadang ada graphic di Domestik yang aku mikirnya lama banget nggak begitu laku, tapi kadang ada graphic yang mungkin aku nggak mikir sama sekali dalam pembuatannya tapi malah laku banget. Aku sih seneng-seneng aja kalau ada brand atau designer yang mulai aware akan hal itu. Mungkin mereka juga udah menganggap itu keren, jangan karena latah aja ya hahaha. Itu bisa jadi otokritik juga buat mereka sendiri. Visual dan produknya bisa lebih variatif lagi dan mungkin bisa lebih bagus dari apa yang udah aku buat.  

“Brand harus lebih berani untuk cari valuenya masing-masing, biar produknya juga nggak cuma jadi produk subtitusi dari brand yang udah ada atau yang lebih terkenal. Kalau fashion itu katanya sebuah identitas, maka peran konsumen juga nggak kalah penting. Sekarang masalahnya udah nggak sekedar di “nyampe” atau nggaknya aja (yang semakin ke sini sekarang makin abstrak definisinya) untuk memutuskan memakai atau membeli sebuah produk, tapi lihat juga value dari brand dan produk yang kalian suka itu relevan atau tidak dengan personal kalian.”

HB: Indonesia sudah masuk ke dalam map industri fashion dunia dengan perkembangan industri kreatifnya yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini di mana kita bisa lihat banyak brand lokal yang memiliki standard tinggi hingga yang berhasil masuk ke retailer-retailer terbaik dunia. Menurut kamu, apa yang harus kita lakukan untuk mendukung ini dan make sure bahwa ini semua akan terus berkembang ke arah yang lebih baik?

R: Kalau dari aku sih biarin ngalir aja nih, nggak usah dipaksain. Nanti pelan-pelan juga makin lebih terbentuk support system-nya yang kemudian akan membentuk ekosistem yang baik juga. Berusaha maksimal di dalam perannya masing-masing aja sih.

Brand harus lebih berani untuk cari valuenya masing-masing, biar produknya juga nggak cuma jadi produk subtitusi dari brand yang udah ada atau yang lebih terkenal. Kalau fashion itu katanya sebuah identitas, maka peran konsumen juga nggak kalah penting. Sekarang masalahnya udah nggak sekedar di “nyampe” atau nggaknya aja (yang semakin ke sini sekarang makin abstrak definisinya) untuk memutuskan memakai atau membeli sebuah produk, tapi lihat juga value dari brand dan produk yang kalian suka itu relevan atau tidak dengan personal kalian. At least sebatas pada interestnya masing-masing. Pun untuk retail store, mungkin emang udah saatnya untuk memperkuat konsep, kurasi dan marketing-nya, mumpung lagi banyak brand baru nih. Biar brand yang baru dan bagus juga ada tempat. Juga biar konsumen punya banyak opsi untuk memilih hasil kurasinya. Oiya, tempat produksi juga nggak kalah penting sih, harus inovatif dan maksimalin kualitas produksinya biar bisa memenuhi ide-ide dari brand.  

“Semakin ke sini market udah makin support sama brand dari Indonesia, mereka tahulah mana yang oke dan mana yang nggak dari segi konsep dan produk. Tapi aku sendiri nggak begitu peduli sih, aku bikin apa yang aku mau aja hahaha. Susah juga kadang ngikutin apa yang market mau, apalagi sekarang kan yang dicari cuma hype, bahkan bukan trend. Jadi secara timeline pendek banget.”

HB: Gimana creative process kamu dalam menciptakan sebuah konsep dari satu koleksi ke koleksi lainnya? Dari mana aja source of inspirations-mu?

R: Biasa aja sih, kayak bikin karya. Research, bisa dari mana aja; buku, majalah lama dan baru, video atau bahkan omongan orang sekitar. Biasanya tinggal nerusin aja tuh apa yang udah ada di koleksi sebelumnya. Kecuali di 2021 kemarin aku tiba-tiba rilis ‘Adapt’ yang isi koleksinya tentang pandemi 2020. Rasanya kayak lebih pas aja untuk dibicarakan dan dijadiin koleksi, sebagai penanda zaman aja. 

HB: Bagaimana menurut kamu dengan tingkat apresiasi market Indonesia dengan produk dari desainer dan brand lokal? Apa yang bisa lebih ditingkatin untuk mendukung industri ini? 

R: Semakin ke sini market udah makin support sama brand dari Indonesia, mereka tahulah mana yang oke dan mana yang nggak dari segi konsep dan produk. Tapi aku sendiri nggak begitu peduli sih, aku bikin apa yang aku mau aja hahaha. Susah juga kadang ngikutin apa yang market mau, apalagi sekarang kan yang dicari cuma hype, bahkan bukan trend. Jadi secara timeline pendek banget.

HB: Jogjakarta adalah kota yang mengapresiasi senimannya dalam berkarya. Bagaimana kamu melihat kota tersebut sebagai support system-mu dalam berkarya? 

R: Secara budaya tradisionalnya mungkin iya. Tapi untuk seni yang lain, sebenernya mungkin emang karena di sini senimannya banyak banget, dari berbagai aliran, baik secara individu maupun kelompok. Jadi mau nggak mau emang harus gerak terus secara kekaryaannya dan akhirnya itu menjadi hal yang “lumrah” di sini sehingga membentuk support system untuk seniman-seniman baru juga. Kalau buat aku lebih ke saling menginspirasi satu sama lain dan lebih ke “malu” kalau karyanya cuma gitu-gitu aja hahaha.

HB: Baik Domestik ataupun Ryan Adyputra sebagai individu banyak berkolaborasi dengan brand dan pelaku kreatif, apa kualitas yang kamu cari dari satu kolaborator sebelum akhirnya project tersebut kejadian? Apa faktor yang menentukan buat kamu dalam mengambil keputusan?

R: Faktor kecocokan haha. Oke dari Domestik dulu ya, kalau kolaborasi baik sama brand atau designer sih yang pasti harus relevan secara produk dan tema. Terus udah ada kedekatan personal, at least udah pernah ngobrol-ngobrol, nggak yang tiba-tiba ngajak kolaborasi. Kayak misal sama Gustavo Eandi atau Tetsunori, awalnya aku nggak kepikiran untuk kolaborasi sama mereka. Akhirnya ada tema yang menurutku cocok untuk mereka re-interpretasikan, barulah ada kolaborasi itu. Begitu pula kalau kolaborasi sama brand, harus ada benang merahnya dulu, karena final produknya aku nggak mau cuma kayak masukin logo brand di satu T-shirt aja. Terus kalau Ryan sendiri sih lebih ke cari duitnya hahaha. Tapi itupun aku masih pilih-pilih. Aku cuma ngerjain brand yang aku suka aja, personal banget hehe.

HB: Siapa 3 artist yang paling menginspirasi kamu dalam berkarya?

R: Aduh banyak banget sih ini, aku nggak pernah punya idola yang spesifik. Tapi untuk yang dari luarnya aku terinspirasi banget sama seniman seniman yang ada di video “Beautiful Loser”, ada Barry McGee, Ed Templeton, dll. Trus lokalnya mungkin dari kakak-kakak Ace House collective di Jogja. 

HB: Gimana kamu melihat Domestik dalam lima tahun ke depan? Flagship store? Exciting passion project? Please tell us!

R: Aku nggak pernah punya business plan untuk Domestik, biarin jalan aja. Kayak sekarang kita rilisnya cuma T-shirt atau crewneck mulu ya karena yang aku rasa pas cuma itu. Mungkin bisa juga besok nggak ada T-shirt sama sekali. Flagship store selalu interesting karena pastinya orang bisa lebih merasakan spirit dari brand ketika masuk dan lihat produknya langsung di flagship store-nya daripada cuma interaksi secara virtual. Pasti bakal ada experience yang beda lah. Tapi aku juga belum punya urgensi juga untuk membuat flagship store saat ini. 

HB: Last question, Apa yang pengen kamu lihat dari industri Fashion/Streetwear lokal di Indonesia kedepannya?

R: Sebagai bagian dari industri ini jelas ingin kemajuan di bidang ini, kemajuan secara organic tentunya.  

Baca juga obrolan kami dengan salah satu pionir streetwear Indonesia, Aryadi Jaya mengenai pengaruh streetwear ke industri lifestyle.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

RIGIO x Parabellum SP-TracX Gabungkan Streetwear dengan Sepatu Tactical
Footwear

RIGIO x Parabellum SP-TracX Gabungkan Streetwear dengan Sepatu Tactical

Dilengkapi water repellent cover dalam dua warna.

Everyday Human Interest Rilis Koleksi Perdana S/S 2021 “All In”
Fashion

Everyday Human Interest Rilis Koleksi Perdana S/S 2021 “All In”

Menampilkan tiga artikel grafis yang terinspirasi oleh musik dan “croissant”.

Koleksi Fall/Winter 2021 dari Y-3 Penuh dengan Kamuflase
Fashion

Koleksi Fall/Winter 2021 dari Y-3 Penuh dengan Kamuflase

Mengembangkan desain fungsional Y-3 dengan style terbaru

John Mayer Rilis Album Ke-Delapan Bernuansa Nostalgia
Musik

John Mayer Rilis Album Ke-Delapan Bernuansa Nostalgia

Menghadirkan elemen musik era tahun 70an dan 80an.

Komodo Rilis EP “Thunder” Bersama Record Label asal Berlin, MMDiscos
Musik

Komodo Rilis EP “Thunder” Bersama Record Label asal Berlin, MMDiscos

Terdiri dari 2 original track dan 1 rework dari producer asal Jakarta, Saturn.


RL KLAV Hadirkan Video Lirik “Crayon Eyes”
Musik

RL KLAV Hadirkan Video Lirik “Crayon Eyes”

Motion graphic penuh warna yang fun.

BadBadNotGood Siap Meluncurkan Album Terbaru Mereka ‘Talk Memory’
Musik

BadBadNotGood Siap Meluncurkan Album Terbaru Mereka ‘Talk Memory’

Dirilis tanggal 8 Oktober via XL Recordings dan Innovative Leisure.

Nartok Rilis Album Perdana Berjudul “Dao”
Musik

Nartok Rilis Album Perdana Berjudul “Dao”

Beserta merch berupa pisau dengan makna dua arah dibaliknya.

adidas Merilis Kit Kandang Terbaru Arsenal untuk Musim 2021-2022
Fashion

adidas Merilis Kit Kandang Terbaru Arsenal untuk Musim 2021-2022

Siap memulai debutnya di lapangan pada 17 Juli saat melawan Rangers.

Official Look dari Travis Scott x fragment x Air Jordan 1 High "Military Blue"
Footwear

Official Look dari Travis Scott x fragment x Air Jordan 1 High "Military Blue"

La Flame, Hiroshi Fujiwara dan the Swoosh berkolaborasi untuk rilisan paling dinanti tahun ini.

More ▾