Ngulik Lebih Jauh Soal Kompilasi Musik Independen dari Pameran 'Notes from the Underground'

Idhar Resmadi bagikan cerita menarik dan personal soal pamerannya itu.

Musik
7,293 Hypes

Notes from The Underground (Pengarsipan Kompilasi Musik Independen Bandung 1997-2017) adalah salah satu pameran yang jadi bagian dalam gelaran Bandung Design Biennale tahun ini. Seperti namanya, pameran ini menghadirkan kumpulan arsip berupa format fisik, baik kaset maupun CD, dari sejumlah kompilasi musik Bandung yang dirilis dalam kurun waktu 10 tahun tersebut.

Berlangsung di gift/art shop Grammars sejak awal hingga pertengahan November ini, Notes from the Underground dikurasi oleh Idhar Resmadi, nama yang nggak asing bagi pegiat scene musik lokal Bandung, yang juga berprofesi sebagai seorang jurnalis, penulis buku, dan dosen.

Tertarik dengan konsep dan topik pamerannya; terutama kalau ngomongin Bandung dengan sejarah panjang subkultur dan scene musik independen lokalnya, HYPEBEAST ngajak ngobrol Idhar Resmadi untuk ngulik lebih jauh soal pameran ini, dari awal mula idenya, ngebahas pendapatnya soal pentingnya kompilasi bagi scene musik independen, hingga kompilasi yang pengen dia bikin.


HB: Dari mana awal mula ide pameran Notes from the Underground (Pengarsipan Kompilasi Musik Independen Bandung 1997-2017) datang?

Idhar Resmadi (IR): Kalau ide pameran ini sih pemantiknya karena diajak Ucok “Homicide” karena kan kebetulan Ucok jadi kurator di Bandung Design Biennale 2021 dan ada tema tentang musik. Ucok pernah tahu bahwa saya pernah penelitian dan memetakan komunitas musik di Bandung melalui kompilasi. Jadi, pameran ini kedua kalinya setelah diselenggarakan pameran pertama pada 2008 lalu di Common Room.

Ide awalnya sih simultan saja, saya pribadi dulu banyak beli dan dengerin kompilasi, termasuk kompilasi band-band independen. Namun, lama-kelamaan akhirnya ketemu pola bahwa “Oh ternyata kompilasi ini bukan sekedar kompilasi”, tapi juga bisa muncul berbagai “insight” tentang pola kreatif komunitas Bandung. Waktu itu risetnya dibantuin oleh Komunitas Bandung Oral History. Hasil dari riset itu sempat dipresentasikan tentang bagaimana pola kreatif komunitas musik di Bandung, hasilnya antara lain mencakup perkembangan tren/genre, modal sosial, budaya nongkrong, hingga pemetaan label rekaman independen saat itu. Namun, sayang hasil riset itu sempat hilang gara-gara hard disk error. Namun, di pameran Bandung Design Biennale coba diupdate-lah, jadi pemetaan dari tahun 1997-2017. Harapannya semoga ke depannya bisa dibikin buku gitu lah. 

HB: Ada berapa album kompilasi yang dipamerkan? Apakah semuanya koleksi pribadi?

IR: Total album ada sekitar 100an sih. Dan, iya, semuanya koleksi pribadi. Mungkin ada yang miss di era 2017an kesini, mengingat sudah era digital dan streaming, karena yang saya kumpulkan kebanyakan rilisan fisik. 

HB: Ketika ngoleksi dan ngumpulin, apakah terkejut melihat banyaknya kompilasi musik independen Bandung yang dirilis?

IR: Pada saat pengumpulan sedikit terkejut, karena ternyata banyak juga dan menariknya beragam banget. Boleh dikatakan, di pameran kompilasi ini semua genre musik populer hingga tradisi/kontemporer ada, dari punk, rock, metal, elektronik, indies, black metal, blues, hingga yang spesifik macam post-rock dan karinding. Ini membuktikan Kota Bandung itu variatif banget penyuka genre musiknya. 

“Kompilasi ini media yang penting untuk merekam gagasan masyarakat atau komunitas yang terjadi saat itu.”

HB: Menurut Anda sendiri, apa pentingnya sebuah kompilasi musik, baik bagi band, scene independen, maupun kotanya sendiri—khususnya kompilasi berisi band dan musisi dalam satu kota?

IR: Menurut saya sih cukup penting. Kalau kita merujuk ke historis di luar juga kan perkembangan musik indie pop didorong oleh hadirnya kompilasi C-86, kemudian juga musik grunge juga didorong oleh kompilasi Deep Six. Kedua kompilasi itu sangat penting merekam zaman, karena pada akhirnya menciptakan subkultur itu sendiri. Karena kompilasi ini kan kebanyakan inisiasi bottom-up (muncul dari inisiasi komunitas), bukan top-down seperti label rekaman besar. Kecuali, kompilasi-kompilasi yang memang muncul karena kepentingan festival, brand, atau promo hits-single major label. Jadi, dari kompilasi ini kita bisa melihat gagasan dan big idea, tentang apapun, terutama bercerita kotanya.

Di pameran ini ada kompilasi Masaindahbangetsekalipisan (1997) yang merekam band-band independen Bandung era awal, kemudian ada juga kompilasi Ticket To Ride (2000) yang berdonasi untuk skatepark di Bandung, ada juga kompilasi Mempetisi Langit (2005) yang diperuntukan donasi musibah tsunami Aceh. Dan masih banyak lagi. Karena kompilasi ini gagasan “bottom-up” jadi banyak ceritanya, dari eksistensi genre musik, ruang publik, hingga tribute ke band idola. Jadi, kompilasi ini media yang penting untuk merekam gagasan masyarakat atau komunitas yang terjadi saat itu.  

HB: Album mana yang paling berkesan secara personal dan kenapa?

IR: Kalau saya pribadi si kompilasi New Generation Calling rilisan Spills Records (sub-divisi label rekaman clothing Unkl347). Karena kebetulan generasi saya tumbuh dengan musik pop-punk atau melodic punk. Meski kompilasi itu tak sepenuhnya berisikan band-band dengan genre seperti itu, tapi di sana saya secara personal suka dengan Superman Is Dead, Rocket Rockers, Boys Are Toys, Disconnected, dan The Bahamas. Di kompilasi itu pula saya pertama kali tahu band Teenage Death Star. Dan kompilasi itu muncul saat awal kuliah, cukup merepresentasikan keresahan masa muda, hehehe.

HB: Masih inget nggak, kompilasi yang pertama dibeli apa dan kenapa?

IR: Yang pertama dibeli mungkin kompilasi luar, tapi kalau lokal yang pertama dibeli kayaknya kompilasi Still Punk Still Sucks deh. Karena isinya band melodic punk semua.

HB: Siapa band yang pertama kali kamu temuin dalam kompilasi di koleksi kamu dan ngefans sampai sekarang? Apakah ada cerita unik mengenai “menemukan band baru di kompilasi”?

IR: Ya salah satunya Teenage Death Star. Saya tahu band Teenage Death Star dari kompilasi New Generation Calling. Saat itu kan akses informasi terbatas, karena tidak ada sosial media. Tongkrongan pun terbatas karena kan masalah akses dan waktu. Kanal-kanal pengetahuan tersedia kan dari paling majalah, radio, zines, hingga membaca list “thanks to” di kaset dan CD. Namun, kalau saya pribadi, kanal informasi saya soal band ya kompilasi. Baru dari kompilasi tertarik nonton livenya, setelah itu tertarik membeli full-albumnya, kalau ada. Jadi kompilasi memang jadi satu gerbang ilmu yang cukup seru karena kalau ada nama baru jadi kian penasaran. Apalagi di era 1990-200an itu kan kompilasi yang bersifat “bottom-up” tadi dan “demokratis dan egaliter”. Band-band besar itu gabung satu dengan band-band “baru”. Jadi di satu kompilasi bisa ada nama Rocket Rockers yang sudah dikenal, terus ada nama band pop-punk yang baru di satu kaset kompilasi yang sama. Semuanya punya akses yang sama. 

”Saya melihat kompilasi masih menjadi media yang tepat untuk menyebarkan gagasan, tak hanya perkara musik.”

HB: Melihat makin banyaknya band/musisi independen sekarang dan perubahan pola baik di produksikayak rilis single saja alih-alih album, konsumsi pendengar, dsb, apakah kompilasi malah jadi relevan di era sekarang untuk membantu para musisi didengar lebih luas lagi?

IR: Kompilasi mungkin rasanya bukan jadi media yang menjanjikan jika tujuannya profit. Sekarang mungkin terjadinya pergeseran kompilasi yang dikurasi secara personal seperti playlist streaming atau playlist DJ. Bukan kompilasi yang bersifat “bottom-up” dan “egaliter” datang dari gagasan komunitas.  Apalagi label rekaman udah jarang banget bikin kompilasi, termasuk juga tongkrongan maupun kolektif.

Namun, saya melihat kompilasi masih menjadi media yang tepat untuk menyebarkan gagasan, tak hanya perkara musik. Misal, kompilasi untuk memobilisasi massa tentang anti-pemilu, kompilasi tentang membangun kesadaran anti-korupsi, kompilasi untuk kesadaran akan penggusuran, hingga kompilasi untuk kesadaran akan lingkungan. Jadi, kompilasi sebaiknya jadi media strategi komunikasi saja. Bukan semata perihal eksistensi genre musik saja. Karena, kompilasi pada akhirnya bisa jadi satu satu alat untuk “strategy of awareness” karena mengingat masifnya band-band yang masuk dapat menjadi “senjata” menyebarkan gagasan apapun. 

HB: Kalau disuruh bikin kompilasi, kira-kira kompilasi apa yang akan kamu bikin?

IR: Saya ingin bikin kompilasi yang merepresentasikan wajah subkultur Bandung selama 3 dekade ini. Kebayang kan ada kompilasi berisikan 3 dekade dari 90an, 2000an, 2010an sampai sekarang. Masing-masing dekade berisikan 10 band atau lagu yang esensial pada masanya. Semoga.

Berikut jadwal lengkap program pameran di Grammars untuk Bandung Design Biennale:

Notes from The Underground: Pengarsipan Kompilasi Musik Independen Bandung (1997-2017)
Showcase: 13-20 November 2021
Discourse: 13 November (15.30-17.00)

Pengarsipan Flyers Gigs Mandiri
Showcase: 13-20 November 2021
Discourse: 13 November (18.00-19.30)

Further Reading #3 Launch
Showcase: 21-27 November 2021
Discourse: 21 November (15.00-16.30)

Printed Melodies Launch
Showcase: 21-27 November 2021
Discourse: 21 November (17.00-18.30)

Informasi lengkap terkait Bandung Design Biennale 2021 bisa kalian simak di sini.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

VERDY dan DOVER STREET MARKET Merilis Koleksi Kolaboratif
Fashion

VERDY dan DOVER STREET MARKET Merilis Koleksi Kolaboratif

Bakalan dapet warna berbeda tergantung lokasi DSM-nya.

Nike Luncurkan Space Virtual Baru Bernama NIKELAND
Tech & Gadgets

Nike Luncurkan Space Virtual Baru Bernama NIKELAND

Langkah selanjutnya dari Nike di metaverse.

Simak Bocoran Koleksi Capsule NEIGHBORHOOD x Futura Laboratories Berikut
Fashion

Simak Bocoran Koleksi Capsule NEIGHBORHOOD x Futura Laboratories Berikut

“JOIN OPERATIONS COMMAND”.

Rayakan 'World Toilet Day 2021', Soilets Rilis NFT Edisi Spesial untuk Charity
Tech & Gadgets

Rayakan 'World Toilet Day 2021', Soilets Rilis NFT Edisi Spesial untuk Charity

Sekalian berbincang dengan penggagas Soilets untuk cari tahu lebih dalam soal project mereka.

Film Dokumenter tentang Tony Hawk Siap Tayang di HBO
Hiburan

Film Dokumenter tentang Tony Hawk Siap Tayang di HBO

Bakal berisi wawancara dan footage yang belum pernah dilihat sebelumnya.


Givenchy Masuki Dunia Digital Fashion dengan Rilis Koleksi NFT
Fashion

Givenchy Masuki Dunia Digital Fashion dengan Rilis Koleksi NFT

Berkolaborasi dengan seorang graphic artist, Chito.

Live Streaming at Potato Head: BINTANG 'Bersama Bali' Launch Party
Musik

Live Streaming at Potato Head: BINTANG 'Bersama Bali' Launch Party

Music by Daisuke Amaike, Kai Evill, Nikolas Artha, Adiyukey, Dita, Bergas, & Gero.

BINTANG 'Bersama Bali' Special Exhibition di The Slow, Bali
Fashion

BINTANG 'Bersama Bali' Special Exhibition di The Slow, Bali

Hadir dari tanggal 19 – 26 November 2021.

Lagu "Plastic Love" Milik Mariya Takeuchi Sekarang Punya Video Musik Resmi
Musik

Lagu "Plastic Love" Milik Mariya Takeuchi Sekarang Punya Video Musik Resmi

Hampir 40 tahun setelah lagu city pop beken ini pertama kali rilis.

Stray Rats dan New Balance Tandeman Lagi Buat Merilis Seri 991
Footwear

Stray Rats dan New Balance Tandeman Lagi Buat Merilis Seri 991

Koleksi kolaborasi yang—lagi-lagi—wajib cop.

More ▾