Sir Dandy Ingin Semua Orang Ciptakan Karya Apapun Hasil Akhirnya
Seniman multitalenta di balik Teenage Death Star dan moniker Sir Dandy beri knowledge bomb seputar industri kreatif.
Pernah dengerin lagu bernuansa folk yang menceritakan anak remaja minum anggur merah? Atau melihat band ugal-ugalan tanpa rem dengan nama Teenage Death Star? Atau mungkin pernah mendengar nama musisi ala British, Sir Dandy Harrington yang sebenarnya berasal dari Bandung? Itu semua merupakan gambaran dari gimana Dandi Achmad Ramdhani berhasil muncul di tengah-tengah scene sub-culture Tanah Air dengan membawa tiga identitas sekaligus: vokalis Teenage Death Star, musisi bergenre folk, dan seniman yang semuanya berada di bawah satu nama, Sir Dandy.
Ocehannya di atas panggung layaknya seniman andal dengan sedikit pesan berbau spiritual namun dibalut komedi kental, sebenarnya memberikan gambaran bagaimana Sir Dandy memiliki cara berpikir yang dalam tentang berbagai hal. Itulah mengapa ia bisa dibilang sukses memperkenalkan ketiga identitas tanpa saling menutupi satu sama lainnya. Aksi panggungnya selalu ditunggu, lirik-lirik jenakanya tetap relate hingga detik ini, dan karya lukisannya juga memiliki ciri khas tersendiri.
Bersama TipTip, Hypebeast Indonesia ngobrol langsung dengan Sir Dandy tentang perjalanannya dari Bandung hingga dikenal di seluruh Indonesia, bagaimana pandangannya tentang musik Tanah Air hari ini, dan pentingnya peran TipTip di dalam kehidupannya sebagai pelaku industri kreatif.
Hi Sir Dandy, boleh share nggak gimana awalnya lo bisa tertarik dengan dunia musik? Apa yang bikin lo untuk terus stay di industri ini?
Tertarik di dunia musik sebenarnya karena temen-temen banyak yang berprofesi sebagai musisi sampingan. Ada yang ngeband, ada yang soloist, ada yang jadi sound engineer, ada juga yang crew stage. Tapi yang paling mempengaruhi sih temen-temen yang ngeband.
Cuman karena dulu nggak punya skill musik khusus jadi nggak terlalu confident. Kalau mau main sebagai gitaris – nggak bisa main gitar, mau nyanyi suaranya fals. Jadi sampai kurun waktu tertentu nggak bisa ngapa-ngapain, sampai pada satu titik mencoba nekat untuk bikin lagu.
Sebelum ngerjain project lagu sendiri, gue awalnya bikin band. Bikin band juga itu karena ketidakbisaan gue menahan hasrat untuk menjadi musisi karena nggak ada skill. Tapi pada akhirnya, yaudahlah. Nggak punya skill, nggak apa-apa lah. Yang penting gue pengen tampil dan punya karya. Sampai akhirnya bikin band namanya Teenage Death Star. Band pertama gue tahun 2002. Waktu itu personilnya ada gue sama Alvin. Alvin sendiri adalah musisi beneran, vokalis band Harapan Jaya. Di band ini kita sama-sama uji nyali. Dia pegang gitar, padahal nggak bisa main gitar dan belum pernah jadi gitaris. Gue nyanyi, dan belum pernah jadi vokalis.
Akhirnya kita nekat cobain aja deh. Intinya dulu yang penting punya keinginan untuk mengekspresikan hasrat untuk berkarya di bidang musik. Kami sama-sama sepakat bahwa band ini untuk having fun aja. Nggak ada target tertentu biar nggak terbebani harus bikin musik yang bagus, harus banyak penonton, harus terkenal. Nggak ada, pokoknya kita semua having fun aja.
Karena ada pepatah mengatakan kalau kita happy di satu band, terus kita manggung, biasanya energi positif nular ke penonton. Jadi penting banget untuk kita happy duluan ketika jadi musisinya.
Ngomongin aransemen, gimana approach lo dalam nulis lagu dan bikin komposisinya?
Kalo untuk band dulu, sebenernya nggak punya planning apa-apa waktu bikin lagu. Dateng ke studio, colokin gitar ke ampli sekencengnya, genjreng aja – berisik aja dulu nanti ngalir apa adanya. Tapi sekarang baru nyadar, ternyata memang perlu untuk melewati prosesnya. Pertama bikin musik dulu, bikin instrumen dulu, baru komposisi lagu. Karena kita semua adalah personil yang seneng dengerin musik jadi minimal basic bikin lagunya tau lah, entah lagunya bagus atau nggak.
Kita waktu itu nggak gitu peduli. Pokoknya jadi sebuah lagu dulu, baru liriknya dibikin belakangan. Dan untuk Teenage Death Star sendiri liriknya banyak pakai broken english. Meskipun salah secara grammar, tapi karena bahasa Inggris bukan bahasa utama jadi ya masih wajar untuk kebutuhan lirik dipadu drum yang berisik dan gitar.
Survey pasar itu baru muncul ketika gue bikin solo album yang rilis tahun 2011. Waktu gue nulis lagu dari tahun 2009, karena sendirian kali ya, jadi semua tanggung jawab itu ditanggung sendiri. Jadi mulai nyari pakem yang bener gimana cara menulis lagu. Gimana bikin aransemen musiknya. Dan banyak test drive ke temen-temen deket.
Sebagai pelaku industri kreatif, lo sering sharing tips kreatif lewat TipTip. Sebenarnya, TipTip itu apa?
TipTip itu adalah platform digital buat para content creator untuk sharing karya mereka sekaligus menghasilkan cuan. TipTip dirancang buat membantu para kreator dengan menggantikan tugas berat seorang manager, seorang marketing promosi, sebuah perusahaan rekaman, seorang kameramen, seorang tim produksi dan support yang berpromosi. Misal, kalau mau share atau ngomongin gitar, gue tinggal ngomong, tinggal upload konten. Kalau mau nyanyi, tinggal set fitur live. Apapun lah, dari hal yang penting sampai yang nggak penting. Yang orang sekiranya perlu tahu di balik layar proses kreatifnya bisa kita share di TipTip.
Di TipTip kita bisa fokus dan bebas membuat karya yang kita suka. Tanpa syarat atau batasan untuk bisa dapet keuntungan dari karya tersebut. Kita bisa bebas bikin strategi marketing musik di satu platform, bisa bikin live session, bisa bikin video musik, bisa dapet bantuan promotor buat promosiin musik kita. Kita bisa dapetin cuan 10%-30% yang dibagi antara kreator dan promotor.
Menurut lo, bagaimana TipTip bisa memberdayakan industri kreatif Indonesia, khususnya musik? Ada saran nggak tentang strategi buat maksimalin TipTip untuk musik mereka?
Dengan adanya TipTip, musisi justru lebih gampang bikin strategi promosi karya mereka dan juga menghasilkan passive income. Banyak topik konten yang bisa dibikin. Konten pertama – gue nyanyi, konten kedua nyeritain liriknya. Ketiga bedah instrumenya, terakhir gue ceritain background storynya. Justru malah lebih gampang, satu paket komplit album kita. Kalau lo mau dengerin behind the scene-nya bisa langsung kasih linknya. Kalau mau tau proses nulis liriknya, bisa di sini.
Siapa role model lo dalam menciptakan karya-karya istimewa tersebut hingga sekarang?
Sebenarnya, gue mulai terinfluence mulai tahun 2000an. Saat internet mulai masuk kenceng, terus akses informasi musik, trend musik khususnya di luar negeri cepat masuknya.
Nah di tahun 2000an dulu lagi ngetren New Rock Revolution di Inggris. Jadi setelah era hip metal munculah band yang dibilangnya New Rock. Era ini banyak keinfluence band Amerika, The Strokes. The Strokes masuk panggung Inggris, join di festival Glastonbury dan lain lain. Terus mancing musisi-musisi Inggris buat muncul pada era itu. Gue banyak dengerin band-band seangkatannya The Strokes di Amerika, macam Black Rebel Motorcycle dan The White Stripes. Terus di Inggris ada The Libertines dan temen temennya lah. Bagus-bagus sebenernya tapi apa daya kan skill gue is dead, terbatas jadi nggak bisa niru.
Apa pandangan lo tentang evolusi storytelling dalam industri musik yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Musisi yang lumayan kuat storytellingnya menurut gue, Efek Rumah Kaca dan Sore. Secara general pendengar Indonesia tuh mencari tema yang dekat dengan keseharian mereka. Misalnya sama sosial, politik, fantasi, harapan, dan segala macam. Dari dulu sampai sekarang rasanya belum banyak berubah. Tema-temanya masih keseharian, keseharian si musisi itu aja.
Dia sama siapa?
Lagi merasakan apa?
Apa yang bikin mereka wow?
Liriknya nggak ngayal, nggak fantasi. Efek Rumah Kaca dan Hindia lirik lagunya banyak berdasarkan pengalaman pribadi dan kalau menurut gue itu sangat bagus untuk berinteraksi dengan marketnya. Dan yang kedua adalah untuk ngasih inspirasi juga ke orang yang pengen berkarya baik itu jadi singer ataupun songwriter. Bahwa nulis lagu tuh sekarang udah nggak harus melulu ngomongin yang bagus-bagus, secara penulisan nggak harus puitis. Semua bisa langsung bikin berdasarkan true story pribadi, seperti lagi lulusan SMA, tentang malam-malam ngerjain tugas di rumah temen, tentang pacar, tentang apapun itulah, sampai tentang jadi anak kos. Dari artis-artis yang tadi gue sebutin tuh kebanyakan temanya seperti itu, realistis.
Apa tantangan terbesar lo selama jadi musisi?
Tantangan pertama adalah berani untuk dibilang jelek karyanya sama orang yang nanti dengerin. Itu jadi ketakutan hampir semua musisi untuk karyanya nanti dibilang jelek. Biasanya nanti takut stress pas karyanya udah jadi terus direview, reviewnya jelek pula. Kalau gue, daripada gue stress, better gue bikin orang stress pas dengerin lagu gue. Jadi gue paksain untuk bikin lagu aja. Beneran bodoh amat mau jelek lagunya, mau sumbang suaranya, pokoknya gue nggak mau stress. Lagunya nggak akan jadi-jadi nanti. Itulah kenapa lagunya dijadiin dulu aja terus nanti kalau terdengar jelek sama orang – biarin orang lain aja yang stress dengerin lagu gue gitu. Yang penting gue udah release semua.
Intinya sederhana, kita harus berani untuk karyanya dibilang jelek, jadi kita berani untuk menyelesaikan karya sendiri. Kan sebenarnya, karya itu kita sendiri yang bikin, jadi kalau menurut kita bagus yaudah menurut gue cukup. Masalah orang lain bilang jelek ya itu masalahnya mereka gitu bukan masalah kita. Malah jadi ketauan mana yang bener-bener pasar kita dan mana yang bukan. Pendengar yang suka itulah yang perlu kita fokusin.
Tantangan kedua, kita harus tertarik dengan karya sendiri. Karena lagu-lagu gue dibuat dari apa yang gue rasain, gue nggak ada basic menulis lagu, gue bukan singer-songwriter gitu. Selain bikin lagu bahasa Indonesia itu susah, kita juga perlu suka dengan apa yang kita buat. Gimana orang lain bisa tertarik dengan lagu kita, kalau kitanya sendiri nggak suka. Kalau kita sendiri energi/responsenya positif, orang lain juga akan menanggapinya positif.
Menurut lo, gimana caranya musisi bisa tetap makin dikenal tanpa perlu berubah hanya demi menuruti kemauan industri?
Sekarang saat yang tepat untuk mereka-mereka yang punya minat untuk berkarya di bidang musik – membuat karya dan merilisnya karena semuanya udah serba gampang. Semua sudah bisa bikin sendiri, terus bisa promosi sendiri pake media sosial pribadinya. Bisa langsung sharing karyanya tanpa harus datang ke radio untuk interview promosi, bisa langsung upload, pilih mau media sosial yang mana, terus langsung di-share aja. Yang penting sekali lagi karyanya harus jadi dulu sih.
Jangan takut untuk dibilang jelek kalau mereka ingin berkarya. Karena enggak ada karya yang jelek, karya yang jelek itu karya yang nggak dirilis. Share ke keluarga terdekat dulu. Dan memang nggak harus langsung pengen terkenal satu kelurahan. Kasih tahu tetangga kiri-kanan aja dulu. Nanti biarin si gelombangnya membesar, biarin mereka yang bikin viral, biarin mereka ngasih tahu informasi, mau informasinya jelek atau bagus ya terserah mereka.
Lo percaya nggak bahwa penting bagi musisi buat menguasai berbagai macam skill? Atau lo lebih percaya musisi lebih baik menguasai satu bidang aja?
Bagus tapi nggak harus. Yang penting harus suka dan confident dengan yang kita lakukan, dengan karya kita. Mau profesi sebagai musisi, singer, songwriter, atau apapun yang disuka jalanin aja. Dan memang nggak gampang prosesnya, nggak semua orang bisa nguasain semua hal. Resepnya cuman satu, banyak-banyakin karya, terus banyak-banyakin share ke temen-temen di media sosial. Dari sini jadi semakin terasah skill bermusiknya.
Bisa juga ngajak orang untuk bekerja sama, akan jadi banyak kasih perspektif baru/segar dalam musik kita. Bisa jadi lebih berwarna karyanya dan bisa saling melengkapi dengan kekuatan yang ada. Nggak harus selalu semua dikuasai sendiri, karena pada dasarnya kita sebagai makhluk sosial punya banyak teman-teman yang baik yang bisa bersama-sama menciptakan sebuah karya. Malah nanti bisa kasih ke teman-teman yang pada nganggur tapi punya talenta di musik.
Dan pada akhirnya menurut pengalaman gue, karya musik atau lagu itu kayak jodoh ya. Kadang-kadang kita nggak yakin, karya kita sih biasa aja tapi kan belum tentu orang lain bilang jelek. Siapa tahu orang bilang malah bagus dan orang itu malah tergila-gila. Maka salah satu caranya ya kita harus ngebagi, kita harus ngebagi karya kita biar orang tahu.
Gimana pengalaman lo selama ini dalam menguasai skill baru di dalam karier bermusik selama ini?
Banyak. Ada hubungannya dengan alam bawah sadar gue; gue itu orangnya agak sedikit bosan. Selain awalnya gue suka musik padahal gue nggak bisa nyanyi tapi jadi vokalis, gue memang banyak cari kesenangan lain.
Ini sebenernya supaya membuat gue tetap aware aja bahwa gue nggak boleh berhenti. Kalau bosan tuh jangan diem atau kalau mentok tuh jangan diem. Misal kalau ketika bosan ngelukis, ya ambil gitar, bikin lagu, kalau bosan main gitar atau mentok ya sepedahan atau cari kesenangan yang lain.
Nanti kalau misalnya memang kesukaan kita itu diapresiasi orang ya Alhamdulillah. Lakukan hal berbeda yang kita suka dan kalau dilakukan dengan serius usahanya, prosesnya nggak akan mengkhianati hasil atau hasil tidak akan mengkhianati prosesnya. Akan terus-terusan ada karya lain.
Siapa artis atau musisi Indonesia yang lagi lo sukain saat ini?
Ada beberapa, selain tadi Efek Rumah Kaca, Sore ada lagi Pamungkas, dan Hindia. Mereka banyak nyiptain musik yang story dan liriknya sederhana, relevan banget dengan keseharian. Dekat banget dengan kebanyakan orang alami sehari-hari. Dengan gayanya masing-masing, mereka bisa menyalurkan pesan sarat makna ke sebuah lagu. Yang akhirnya bisa bikin mereka dekat dengan pendengar/fans.
Menurut lo, gimana kontribusi para musisi baru ini terhadap evolusi dan keragaman industri musik Indonesia?
Sekarang menurut gue lagi bagus-bagusnya ya musik Indonesia karena udah nggak ada batasan lagi antara musisi independen sama musisi mainstream. Juga nggak ada batasan dari segi pasar pendengar. Kalau dulu pas gue mulai ngeband dan temen-temen seangkatan gue tahun 2000 ke bawah tuh masih ada musisi yang mainstream dalam arti mereka disupport oleh perusahaan rekaman besar yang lebih popular dan ada musisi independen yang semuanya serba DIY gitu.
Tapi di balik itu semua, kompetisinya jadi lebih sulit karena saking terbukanya pasar musik di sini. Orang bisa langsung ngejudge lagu mana yang gue suka atau gue nggak suka. Jadi, sekarang udah nggak ada resepnya. Ketika rilis lagu, biarin orang menilai bagus atau nggaknya. Sekarang semua orang bisa bikin musik dan bisa ngepublish sendiri tanpa harus lewat label, sehingga kita bisa dengan kilat dapet informasi mana aja band yang lagi bagus.
Musisi sekarang banyak yang bebas dan lebih berani dalam hal bermusik dan lebih beragam identitasnya. Nggak melulu satu-dua genre popular aja, nggak melulu jenis vokal yang itu-itu aja. Nggak ada kriteria pasar, malah kayak Efek Rumah Kaca, pasar apapun sekarang bisa diciptakan. Terlebih dengan berkembangnya social media, seorang musisi juga bisa lebih berinteraksi dengan fansnya dan bisa masarin musik secara independen tanpa harus bergabung ke dalam management artist. Contohnya ya TipTip.
Lo pernah memperhatikan tren atau tema umum di antara para musisi baru ini yang menurut lo sangat menarik untuk dicek lebih dalam?
Menariknya sekarang kan udah nggak ada batas-batas itu. Orang terbuka banget untuk milih apalagi dengan internet yang gampang diakses semua orang. Banyak pilihan bentuk promosi yang baru dalam mempromosikan karyanya, nggak harus melulu dalam bentuk dia lagi bernyanyi tapi bisa dalam bentuk dia sedang menulis, dia menceritakan proses menulis lirik, menceritakan kunci gitar apa aja yang dia pakai, menceritakan apapun itu proses kreatif di balik layar dalam pembuatan karyanya.
Dan sekarang banyak musisi bikin karya sebanyak-banyaknya, sekali rilis bisa 7-8 lagu. Dari segi biaya banyak yang mulai dari budget pribadi. Kalau satu karena orang nggak paham kita tuh mahluk apa. Justru rilis lebih dari satu lagu sih lebih bagus jadi fair juga buat mereka dengarnya. “Okelah, lagu yang pertama ini gue kurang suka.” “Eh, tapi ini lagu yang ketiga nih gila, gue suka banget.” Jadinya, kita kasih kesempatan orang untuk memilih.
Biarkan pendengar memilih aja jodohnya. Jodohnya dari lagu yang kita bikin. Kalau kita cuma rilis satu sih, kita memaksakan jodohnya “nih lu harus suka”. Karena bagaimanapun si penyanyi udah bikin rilis lagu bukan cuma untuk segelintir manusia. Masih ada 250 juta orang lagi atau bahkan negara Asia Tenggara, Eropa, negara lain yang menanti diperdengarkan karya-karya kita gitu. Menurut gue itu kesimpulan yang sederhana. Kalau audiens nggak suka, ya berarti bukan target audiensnya.
Lastly, apa plan lo di tahun 2023?
Ada dua project yang lagi disiapin sekarang. Pameran tunggal untuk lukisan dan ngeluarin album solo. Gue merasa dua project ini harus dijalankan karena kalau nggak sekarang kapan lagi. Targetnya kalau memang dilancarkan Insha Allah setelah lebaran.