Dendy Darman Bicara Makna Legacy, Anniversary, dan Passion Projectnya Saat Ini
Serta hal yang ia pelajari selama 25 tahun berkarya.
Kalau kita ngomongin sejarah perkembangan brand lokal, khususnya clothing dan distro, nama Dendy Darman seakan nggak mungkin terlepas dari perjalanan industri yang sukses menghasilkan nama-nama besar dan ekosistem seperti saat ini. Di awal perjalanannya sebagai seorang desainer multi-disiplin, founder dari UNKL 347 tersebut mengaku semuanya berjalan secara organik. Walaupun begitu, dirinya nggak pernah main-main dalam urusan branding mulai dari segi visual, bahasa, tone & manner, sampai energi yang ingin disampaikan lewat berbagai karyanya.
Genap 25 tahun perjalanannya membesarkan UNKL 347, visi Dendy sebagai seorang kreatif tetap sama; menelurkan gagasan yang fresh buat terus berkarya. Hal ini terbukti lewat eksplorasinya di bidang product design dan interior lewat ‘Dendy Darman Studio’ yang menekankan komposisi dibanding fungsi dengan unsur seni yang kuat.
Kami berkesempatan untuk berbincang dengan Dendy buat ngebahas soal approach-nya dalam berkarya, bedanya UNKL 347 yang dulu dan sekarang, hingga makna legacy buat dirinya.
HB: Hi Den, lo adalah satu dari segelintir orang yang memprakarsai berdirinya industri kreatif, khususnya lewat jalur clothing line di Indonesia. Boleh ceritain sedikit gimana awal lo memulainya?
D: Berangkat dari bagaimana bisa buat sesuatu yang dapat membiayai kegiatan surfing waktu itu. Sebelum gue memulai UNKL 347, gue banyak mengerjakan disain cover buat band-band indie.
“Yang pasti selama 25 tahun ini gue terus berusaha me-represent suatu gagasan. Setiap bangun pagi gue terus berpikir tentang gagasan-gagasan baru buat direalisasikan atau seenggaknya jadi tabungan ide untuk rencana-rencana berikutnya.”
HB: UNKL 347 punya arahan visual yang ikonik yang bikin orang otomatis tahu “Ini design-nya UNKL 347 nih”. Boleh ceritain sedikit awal mulai proses design tersebut?
D: Sebenarnya karena awalnya D.I.Y jadi selalu buat konsep disain yang efisien dan tidak susah buat di realisasikan, dan akhirnya jadi ciri dari disain 347 sampai saat ini. Disain dekoratif yang efektif secara komposisi. Sebisa mungkin gue juga tetap memaintain visual identity ini dengan cara menahan nafsu terhadap komposisi disain lain dan berpegang teguh ke prinsip “less is more”. Surfing, teman-teman, dan sub culture jadi influence terbesar gue dalam berkarya.
HB: 25 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi sebuah brand untuk terus berkarya dan menginfluence generasi selanjutnya. Apa yang lo pelajari selama 25 tahun membangun brand dan sub culture di Indonesia?
D: Yang pasti selama 25 tahun ini gue terus berusaha me-represent suatu gagasan. Setiap bangun pagi gue terus berpikir tentang gagasan-gagasan baru buat direalisasikan atau seenggaknya jadi tabungan ide untuk rencana-rencana berikutnya.
HB: Di tahun pertama mendirikan UNKL 347, lo bakal mengira sampai sebesar ini nggak?
D: Gue nggak pernah berpikir bakal segede ini, tapi sejak awal sudah memastikan pasti 347 jadi hal yang menyenangkan buat gue sebagai seorang design enthusiast. Selama 25 tahun ini, peran tim gue berjalan seorganik mungkin jadi nggak pernah ada rencana panjang.
HB: Menurut lo, apa hal mendasar yang ngebedain UNKL 347 saat masih kecil dan saat ini?
D: Sekarang bedanya gue punya tanggung jawab terhadap para pekerja gue. Kalau dulu sih tinggal kerja dan pesta aja, karena kebetulan sepanjang berdirinya UNKL 347 project favorit gue itu yang pasti ada hubungannya sama party hahaha.
HB: In your own words, what’s your greatest legacy so far?
D: Buat produk dan ditiru oleh orang dan jadi berkah buat orang.
HB: Kolaborasi UNKL 347 bareng Sepatu Compass adalah puncak selebrasi dari 25th Anniversary UNKL 347. Gimana awalnya project ini bisa kejadian?
D: Semesta mempertemukan gue dan Ajie Handoko. Ketika gue bilang 347 mau 25 tahun Ajie spontan terbayang 25 disain compass. Sebuah gagasan yang menurut gue sangat organik dengan benang merah antar kedua brand, yaitu “DIBUAT DI INDONESIA”.
HB: Project ini menawarkan design yang menampilkan kearifan lokal dengan twist yang fresh. Apa background dari ide design ini?
D: Latar belakang 347 berangkat dari surfing di Pantai Selatan, Jawa Barat ide awalnya. Gue dan Ajie berkelana ke Pantai Selatan di mana gue memperkenalkan surfing ke Ajie dan hal-hal menarik di sana; apa yang surfer lakukan dan apa yang paling ikonik di Pantai Selatan. Semua itu jadi latar belakang dari proses disain kami dan akhirnya kita memutuskan memakai lukisan karya maestro Basoeki Abdullah untuk jadi visual dari rilisan ke-25 yang merupakan disain yang benar-benar bersal dari arsip 347 melainkan dari hasil pemikiran team 347 dan team Compass saat kami berkelana.
“Gue memulai semuanya sebagai pekerja seni dan pengen tetap dikenal sebagai pekerja seni. Semua hal yang gue lakukan mulai dari mendesain apparel 347 sampai hunian lewat Dendy Darman Studio punya benang merah yang sama, yaitu seni.”
HB: Apa sepatu favorit lo dari koleksi tersebut?
D: Disain ke 25. Kenapa? Sepatunya nggak bisa dipakai karena kami memutuskan untuk dijadikan berhala.
HB: Saat ini streetwear bukan lagi hal asing seperti dulu di mana banyak brand baru bermunculan dari berbagai kalangan dengan DNA yang beragam. Apa pandangan lo tentang generasi baru ini?
D: Buat gue sih jadi semangat yang tidak pernah padam, gue belajar terus dari yang baru.
HB: COVID-19 jelas jadi tantangan industri kreatif di Indonesia saat ini, baik buat mereka yang lagi merintis ataupun yang sudah established. Apa advice lo buat para perintis di luar sana?
D: Harus percaya kuncinya.
HB: Sebagian besar orang mengenal lo sebagai founder dari sebuah clothing label asal Bandung, tapi sebagian lain justru mengenal lo sebagai seorang arsitek/interior designer dan industrial designer. Buat lo sendiri, lo mau dikenal sebagai apa?
D: Gue memulai semuanya sebagai pekerja seni dan pengen tetap dikenal sebagai pekerja seni. Semua hal yang gue lakukan mulai dari mendesain apparel 347 sampai hunian lewat Dendy Darman Studio punya benang merah yang sama, yaitu seni.
HB: Gimana cara lo mengaplikasikan identitas visual lo ke dalam medium karya yang lain seperti furnitur hingga rumah?
Gue dari dulu suka sama komposisi, jadi dalam berkarya menggunakan medium dua dimensi ataupun tiga dimensi, komposisi selalu jadi prioritas dibandingkan fungsi.
HB: Ada ngga something yang bikin lo penasaran buat ngerjainnya?
D: Pengen buat hal-hal yang dulu di buat dan tidak berhasil. Kebetulan gue pensaran buat bikin sebuah museum yang menampilkan benda-benda klenik Nusantara.