Membangun dan Mempertahankan Konsistensi Brand bareng Hendry Sasmitapura
Founder Pot Meets Pop menceritakan pengalamannya selama 10 tahun terakhir.

Buat para denimheads Indonesia, Pot Meets Pop bukan nama yang asing buat mereka. Sejak tahun 2009, label asal Bandung ini sudah berkiprah di industri kreatif lokal, khususnya fashion dengan merilis produk apparel dengan denim sebagai fokus utamanya. Selama kurang lebih 10 tahun, Pot Meets Pop telah berevolusi menjadi brand dengan lineup produk yang lebih variatif, namun tetap kuat menjaga roots mereka.
Berbagai project lokal dan luar sudah pernah dilakukan oleh label besutan Hendry Sasmitapura bersama timnya tersebut. Mulai dari denim exhibition, pop-up shop, tradeshow, hingga kolaborasinya dengan Cheech and Chong menjadi milestone tersendiri buat mereka dan industri kreatif lokal secara umum.
Kali ini kami berkesempatan untuk ngobrol dengan ‘Hen2’ tentang pengalamannya dalam membangun serta mempertahankan brand miliknya agar terus relevan tanpa harus meninggalkan roots aslinya.
HB: Hen, lo udah berada di industri ini selama kurang lebih 10 tahun. Pastinya banyak hal yang lo udah laluin. Pot Meets Pop sendiri muncul dengan identitas sebagai brand denim dan berhasil evolves dari masa ke masa agar tetap memiliki positioning yang tepat di market. Gimana kesan lo di industri ini dalam 10 tahun terakhir? Apakah kita ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya?
Yes, we’re going the right way! Sekarang kita bisa lihat banyak brand Indo yang udah tembus ke market global, dari produk mereka yang di carry store luar, banyaknya brand Indo yang di feature media luar, bahkan collab sama brand/artist luar. Menurut gue dalam beberapa tahun ke depan kita bakal lebih ‘main’ lagi sih di stage global.
Dan yang pasti gue respect banget sih sama orang-orang di industri ini yang masih keep doing what they do for the past ten years, terutama mereka yang hidupnya 100% dari sini.
HB: Tren selalu berubah, market pun berubah. Menurut lo apa tantangan terbesar dalam memulai sebuah brand dan juga dalam mempertahankan konsistensinya?
H: To stay on their roots. Sekarang gue ngelihat banyak brand yang udah bagus, tapi pas kita lihat collection lama atau rilisan awal mereka itu beda banget sama apa yang mereka tawarin ke market sekarang. Nggak kelihatan benang merahnya karena mungkin terlalu tergiring sama tren. Mungkin itu ya menurut gue salah satu challenge terbesar yang banyak dihadapi brand-brand kita sekarang.
HB: Mulai dari lokal hingga internasional, lo udah banyak berkolaborasi dengan berbagai brand, termasuk dengan Cheech & Chong yang bisa dibilang sebagai sosok yang menginspirasi lo untuk memulai PMP. Ada lagi nggak project seperti ini dalam waktu dekat? Apa yang ingin lo raih lewat kolaborasi ini?
H: Ada banget! Gue nggak sabar sih pengen bocorin next collab Pot Meets Pop. Intinya kita bakal rilis koleksi bareng entity dari luar lagi. Lewat kolaborasi ini gue pengen memperkuat brand identity dari PMP sendiri. Semakin sering kita berkolaborasi dengan artist yang satu visi, semakin kental juga karakter si brand ini jadinya.
Selain itu gue juga pengen create demand lebih besar di market luar lewat kolaborasi dan storytelling yang kuat. Contohnya kemarin pas kita collab sama Cheech and Chong, PMP dapet banyak account baru di Jepang, dan bahkan mereka sempat repeat order beberapa kali. Di sini kan kita bisa lihat kalo mereka memang bener-bener appreciate story yang kita present.
View this post on Instagram
HB: Apa aturan main lo dalam product innovation? Kira-kira sejauh apa nantinya Pot Meets Pop mengeksplorasi lineup produknya? Karena dulu lo fokus di denim, lalu workwear, dan sekarang memiliki sentuhan graphic juga dalam beberapa artikelnya. Seperti mencoba hal yang baru tanpa meninggalkan DNA dari brand itu sendiri.
H: Pot Meets Pop sendiri sih nantinya akan lebih bold lagi dari segi produknya. Kita bakal terus explore berbagai siluet dari western workwear & military garments yang di twist pake material & colorway yang non-traditional, plus graphic yang eksentrik ala PMP.
Kalo buat PMP Denim nantinya akan kita balikin lagi ke core-nya untuk fokus bikin well-made denim yang bisa nge-serve semua kalangan dari entry level sampai ke true denim aficionados.
HB: Gimana caranya menurut lo agar brand tetep bisa berinovasi tanpa meninggalkan identitas brand itu sendiri?
H: Menurut gue lo harus tahu dulu roots brand lo apa. Kayak PMP kan roots-nya jelas pot culture, jadi nanti misalnya suatu saat kita mau eksplor other kind of music seperti jazz atau Hip Hop gitu, masih relevan dan ada benang merahnya. Gue juga percaya banget sama kolaborasi, dan as long as kolaborator tersebut masih bersinggungan sama roots brand lo, gue rasa semua bakal berjalan secara organik.
HB: PMP bisa dibilang adalah sebuah brand yang sebisa mungkin selalu mempertahankan identitasnya lewat presentasi musik, grafis, hingga komunikasinya lewat storytelling di tiap koleksi. Gimana cara lo come up dengan ini semua? Dan apa faktor yang bikin lo tertarik untuk mengeksplornya?
H: Sebelum kita planning koleksi baru, biasanya kita akan brainstorm dulu mau ngangkat tema apa. Baru dari situ anak-anak mulai digging buat cari referensi grafis, copy, dan looks yang cocok buat selanjutnya kita apply ke lineup produknya. Faktor yang bikin kita tertarik buat ngeksplor sih karena emang dasarnya kita suka sama hal itu. Jadi ya nggak bosen-bosen. Contohnya pas kemarin kita research buat C&C, gue nontonin lagi tuh film-film mereka sampe berulang kali gitu hahahaha.
HB: Apa bedanya landscape retail jaman PMP awal-awal sama yang sekarang dari segi experience dan consumer?
H: Offline vs online ya udah pasti. Kalo dulu kita kencengnya jualan di toko-toko consignment, sedangkan kalo sekarang apalagi sejak pandemi, ya jualannya mostly via online channels.
Sebenernya yang gue kangenin sekarang adalah event-event offline di mana kita bisa ketemu sama customer dan bisa ceritain produk baru kita ke mereka secara langsung. Terus bisa ngobrol dan sharing knowledge sama temen-temen sesama pelaku di industri ini. The good old days, semoga secepetnya kita bisa kumpul lagi kayak gitu ya.
HB: Landscape industri denim lokal banyak melahirkan pemain baru dengan craftsmanships yang mumpuni. Apa advice lo buat mereka biar brandnya standout di market?
H: Harus bisa ngasih lihat keunikan mereka tuh apa, as in product & branding. Otherwise, customer bakal ngerasa lebih aman buat beli brand lama yang udah jelas terbukti kualitas & kredibilitasnya.
“Gue tahu banyak brand yang pengen ngereach market global, tapi menurut gue sebelum ngomongin itu, mereka harus pelajarin dulu kaya gimana game-nya. Contohnya, kapan katalog, linesheet, dan koleksi seasonal harus siap dari segi timeline, karena percuma lo punya collection bagus tapi sell-date nya udah lewat dari buying window toko-toko di luar. Terus kayak berapa wholesale discount rate & MSRP yang ideal buat produk lo di luar juga perlu dipikirin banget.”
HB: Gimana menurut lo industri kreatif khususnya apparel di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini? Banyak brand baru bermunculan, banyak juga yang hilang.
H: Seru kok. Banyak brand baru bermunculan dan somehow mereka inspire gue untuk catch up lagi. Beberapa tahun lalu tuh gue sempet bosen dan merasa ada di titik aman, tapi brand-brand baru ini yang bikin gue ngerasa tertantang dan semangat lagi buat me-refresh brand gue ke arah yang lebih baik.
Kalo banyak yang hilang ya sayang juga, tapi emang susah-susah gampang sih. Gue sendiri juga ada kok satu brand yang sekarang masih vakum, Vaya Con Dios, tapi gue lagi berencana buat reviving brand ini bareng tim dan partner baru.
Mungkin problemnya dari brand-brand yang hilang tersebut adalah karena statusnya bukan main business dari si owner-nya, jadi ngerjainnya nggak sefokus dan semaksimal itu sampai akhirnya terabaikan.
HB: Apa yang harus dilakuin oleh brand lokal dan pelaku bisnisnya agar industri ini dapat lebih maju lagi dan naikin standard kita di mata internasional?
H: Ini sih yang pengen gue sampein selama ini. Gue aware banyak brand yang pengen ngereach market global, tapi menurut gue sebelum ngomongin itu, mereka harus pelajarin dulu kaya gimana game-nya. Contohnya, kapan katalog, linesheet, dan koleksi seasonal harus siap dari segi timeline, karena percuma lo punya collection bagus tapi sell-date-nya udah lewat dari buying window toko-toko di luar. Terus kayak berapa wholesale discount rate & MSRP yang ideal buat produk lo di luar juga perlu dipikirin banget.
Gue nggak bilang PMP udah sempurna ngerjain itu semua karena gue sendiri terus belajar dan mencoba untuk ngerapihin workflow kita, tapi gue berharap brand-brand lain pun mikirin hal itu sebagai sebuah fondasi sebelum ngalihin fokusnya buat go international.
HB: Untuk kedepannya, apa milestone yang pengen banget lo raih buat PMP as a brand?
H: Gue pengen PMP bisa terus penetrasi ke market global, khususnya Eropa dan Australia. Tentunya dengan tetap memperkuat presence kita di negara-negara yang sudah ada sekarang. Sama gue juga pengen PMP punya flagship store di Bali karena gue ngerasa culture di sana nyambung banget sama brand PMP.