Pandangan Dea Barandana terhadap Industri Musik Lokal di Era Pandemi


Serta pengaruh media sosial dalam karyanya.

Musik
16,983 Hypes

Aradea Barandana atau yang biasa disapa Dea, merupakan salah satu DJ dan produser musik tanah air yang dikenal di banyak negara dengan referensi dan koleksi musiknya yang istimewa. Nggak hanya itu, Dea juga sering tampil di berbagai festival di luar negeri, salah satunya menjadi opening act untuk Robyn, lalu berkolaborasi dengan DJ Harvey untuk project soundtrack film Unagi, hingga memproduseri lagu untuk label rekaman Peggy Gou. Bahkan seorang DJ legendaris Gilles Peterson beberapa tahun lalu pernah mengatakan bahwa Dea Barandana memainkan set terbaik yang ia pernah dengarkan dalam 10 tahun terakhir, “he is built entire set around a sound that never sounded better to my ears,” kata Gilles Peterson. Seiring dengan Pandemi ini, Dea aktif menjadi produser dan salah satu hasil karyanya bisa didengarkan lewat album terbaru White Shoes & the Couple Company, ‘2020.’

Bertepatan dengan Record Store Day tahun ini, Michael Killian dari HYPEBEAST Indonesia berkesempatan untuk berbincang dengan Dea Barandana tentang kondisi industri musik Indonesia di era pandemi hingga bagaimana social media mempengaruhi perkembangan industri ini dalam beberapa tahun terakhir.

HB: De, boleh ceritain apa aja kesibukan lo selama pandemi ini?

D: Sebelum pandemi kemarin gue ngerjain album White Shoes and the Couples Company, ‘2020.’ Di project ini gue ngerjain full produksi sebagai executive producer. Kalau nggak salah awal produksinya mulai dari akhir tahun 2019. Di awal produksi gue monitoring dari jauh dan sempat ke studio beberapa kali, cuma pas pandemi gue mulai lebih fokus dan involve. Gue mixing di empat lagu dan involve sebagai audio engineer dan producer, nggak sebagai musisi. Intinya gue in charge full album sampai tahap produksi. Selain itu gue ngurus produksian piringan hitamnya juga di mana gue sempat mastering satu lagu untuk ini. Akhirnya rilis deh tuh album di akhir 2020, dan di ‘Record Store Day’ nanti kita bisa pre-order versi vinyl-nya.

HB: Project apa yang lagi lo kerjain sekarang?

D: Kalau project yang sekarang lagi gue kerjain itu ada Diskoria Selekta. Tapi gue tadinya sebelum pandemi kayak living in the bubble. Gue ada steady job di Bali, gue juga ada kerjaan di luar, jadi lingkup gue cuma elektronik dan dance music, that’s it. Gue memang mengeksplor ke yang lain-lain, tapi tadinya gue udah senyaman itu. Tapi pas pandemi ini semuanya ternyata berubah. Gue lihat klub ternyata nggak keliatan kayak klub, udah gitu event yang biasa gue kerjain kayaknya nggak mungkin pulih dalam waktu dekat, apalagi cara pandang orang di sini untuk penanganan medis sama kedisiplinan orang di Indonesia mungkin lama. Jadi gue sekarang malah eksplor yang tadinya gue idealis sekarang gue nyoba gimana caranya untuk kompromi buat tetap bisa idealis tapi bisa jualan juga. Karena kalau yang ada di otak gue sekarang, kalau mau jadi musisi buat main live depan kamera sih enggak banget. Lo nggak ada interaksi sama audience, dan ketika lo mau bikin konser sendiri atau konser diem-diem lo bakal habis juga dikritik sama orang karena lo dinilai nggak peduli sama protokol. Serba salah kan? Jadi ya gue akhirnya ngembangin komposisi lagi, gue belajar arrangement, dan lain-lainnya juga. Gue lebih open ke arah pop sih sekarang.

HB: Bisa dibilang yang tadinya fokus sebagai DJ sekarang lo lebih serius lagi sebagai produser. Dilihat dari sejak pandemi lo mulai aktif lagi di scene musik lokal lewat project WSATCC yang bisa dibilang adalah salah satu band lokal yang gede banget sampai Diskoria Selekta yang lagi naik daun sekarang. Menurut lo gimana scene musik Indonesia dalam lima tahun ke belakang yang lo lihat?

D: Jujur gue nggak terlalu ngikutin karena gue udah terlalu nyaman dengan lifestyle gue. Gue nggak peduli dan gue nggak nyari referensi dari lokal juga. Cuma gue baru discover lagi sekarang sih, mulai dari scene musik dan orang-orangnya kayak musisi, engineer, segala macem tuh baru. Gue memang kenal sama mereka dari dulu, tapi baru catching up lagi pas pandemi ini. Menurut gue kalau dari lima tahun ke belakang sih pastinya ada sesuatu lah cuma yang mau gue sampaikan, kalau lo mau jadi pemusik dan lo nggak ‘nyayur’, kayak bikin musik uneducated gitu, lo nggak bakal sekaya Chrisye karena di sini sistem royalti masih nggak jelas. Gue mau register pake aggregator luar buat WSATCC aja ternyata udah dimonopoli. Di sini in every sector kalau menurut gue ada semacam kerjasama antara satu perusahaan atau komunitas yang udah kuat dengan pemerintah untuk monopoli sesuatu. Jadi istilahnya kalau lo jadi pemusik, lo bakal struggle banget. Udah struggle sama karya lo sendiri, abis itu lo mau jual kemana? Lo nggak bisa dapet poin, lo cuma bisa jual ke internet, lo mau rilis fisik juga mahal ya kan? Terus kalau mau bikin piringan hitam paling dekat ke Hong Kong atau tempat lain karena di sini pajaknya gede banget. Jadi sebenarnya lo dead end.

Waktu jaman dulu gue baru datang tuh gue sedih banget lihat orang-orang udah bikin musik tapi malah nge-license untuk jadi ring back tone. Sekarang ada banyak komunitas baru yang belum gue discover, tapi untungnya ada movement yang dilakuin.

pandangan-dea-barandana-terhadap-industri-musik-lokal-di-era-pandemi

HB: Based on latar belakang lo sebagai produser dan orang yang punya referensi musik lebih dari yang lain, gimana menurut lo dengan kualitas musik di sini? Apakah ini sudah ok atau malah urgent buat ningkatin kualitas mereka untuk bisa bersaing di skala global?

D: Menurut gue sih kalau di modern day ini gue bilang urgent sih nggak ya, karena gue lihat musik itu bukan suatu hal yang kompetitif. Ini tuh bukan sports, kayak gue harus bisa lebih keren dari Thailand atau lebih keren dari Australia. Kalau menurut gue di suatu continent pasti punya style-nya masing-masing. Kayak waktu gue di sekolah sound engineer, musik yang gue koleksi sekarang mungkin secara teknis mereka salah semua, kayak frekuensi di sini nggak dipotong atau ada noise didiemin. Semuanya salah kalau dulu gue baca handbook gue. Tapi ternyata ini keren. Stylenya Jamaika tuh memang begini. Lo kalau lihat musik dub itu sebenernya stem Reggae tapi dikasih delay. Kalau misalnya dilihat secara detail per-millisecond semuanya bakal salah, tapi karena asik jadi nggak ada penilaian kayak gitu. Nggak ada resep. Jadi, kalau gue bilang untuk scene musik independent urgent sih nggak ya karena disini banyak orang yang make it itu rata-rata punya duit lah, gue juga nggak mau naif. Tapi kalau di musik pop, itu urgent banget karena menurut gue kualitas kita busuk banget.

Oke deh Raisa bisa nyanyi, segala notes dia bisa hit, cuma kalau lo bandingin sama Lady Gaga, kualitas produksi kita memble. Standard sekarang semua sudah pakai digital, nggak ada style yang kayak tadi gue bilang. Mainstream-nya urgent banget, butuh referensi, butuh fasilitas yang bisa bersaing, tapi kalau buat yang independen justru dilepas aja buat go with the flow. Gue nggak mau dibilang anti gabba atau funkot, tapi sekarang musik yang kayak gitu aja bisa diapresiasi banyak orang padahal menurut gue itu norak. Ini kan tandanya musik independen memang tergantung selera masing-masing orang. Mungkin banyak yang melihat ini sebagai sesuatu yang eksotis.

“Social media banyak menolongnya walaupun ada pro dan kontra. Lo bisa promosi secara gratis, lo bisa discover someone yang nggak mungkin lo temuin kalau nggak ada sosmed. Tapi kontranya adalah banyak anak-anak generasi sekarang masih lihat kalau followers lo nggak banyak, likes lo ga banyak, nggak akan dipake.”

HB: Lo mulai nge-DJ dari dulu sampai sekarang melalui berbagai era yang berubah-ubah. Kalau lo liat gimana pengaruh social media ke industri musik sekarang?

D: Wah itu pengaruhnya gede banget tuh. Gue juga nggak bisa bohong, awalnya gue sama Adra Karim yang idealis banget sama Jazz sempat bilang ke gue, “gue nggak ngerti deh kenapa orang bikin musik untuk viral.” Gue juga bilang, “iya ini kok bego amat ya, bisa dapet apa dari situ?,” tapi ternyata banyak sekarang musisi yang di discover via social media. Bahkan sekarang gue juga kayak gitu. Gue cari penyanyi yang setengah matang dan kece dari sosmed. Gue nggak mau naif juga, kalau nggak ya nggak akan menjual. Social media banyak menolongnya walaupun ada pro dan kontra. Lo bisa promosi secara gratis, lo bisa discover someone yang nggak mungkin lo temuin kalau nggak ada sosmed. Tapi kontranya adalah banyak anak-anak generasi sekarang masih lihat kalau followers lo nggak banyak, likes lo ga banyak, nggak akan dipake. Nggak akan relevan buat mereka.

HB: Jadi menurut lo memang ngaruh banget ya jumlah followers dan likes?

D: Sama di Spotify. Lo ada di Spotify tapi nggak ada listenersnya ya susah. Sekarang festival kalau mau booking artis benchmark yang mereka lihat adalah numbers.

HB: TikTok kan ada “musiknya” sendiri juga, menurut lo bakal berubah nggak frekuensinya dari segi songwriting?

D: Jelas. Contoh lagu Bang Jago, itu kan dari TikTok tuh. Gue pertama denger, “duh gila kenapa orang bikin ginian sih?,” sama pas ada orang minta gue buat bikin lagu untuk promosi TikToknya, gue kayak “ah gila lah.” Tapi duitnya ada. Akhirnya gue nggak komentar dari segi kualitas, tapi yang gue lihat adalah gimana caranya gue bisa buat lagu kayak yang mereka minta tapi dalam versi lebih ‘mendingan.’ Kalau menurut gue sih kualitas ada yang bagus ada yang jelek, kayak gue liat TikTok, “apaan sih ini,” tapi pas gue ngetik band gue ZATUA, eh ternyata ada lagu gue di sana hahaha. Terus gue tanya ke temen gue, “ada nggak orang yang pake lagu gue (ZATUA) buat TikTokan?”, eh ternyata ada banyak hahaha.

HB: Bisa dibilang ini segitu berpengaruhnya ke lifestyle sekarang ya.

D: Gue nggak mau munafik juga, gue bukan caveman. Orang-orang udah hidup ketergantungan sama handphone, mau nggak mau kalau gue masih mau punya duit dan bersosialisasi, gue harus bisa kompromi walaupun gue against itu. Sewaktu-waktu lo bakal ketemu kerjaan yang berhubungan sama yang tadi. Jadi sekarang daripada nolak, mending gue ignore dulu karena nanti bakal datang dengan sendirinya.

“Menurut gue selama musiknya masih enak didengar, itu akan sustain sih. Contohnya lewat nostalgia. Misalnya lo bikin lagu dan banyak yang hafal sekarang, nah 10 tahun lagi bocah-bocah yang dengerin lagu itu udah gede nih, nostalgia kan tuh pasti. Karena musik lo punya sentimental value. Cuma kalau musik yang lo bikin nggak enak, itu bakal gone dengan sendirinya.”

HB: Bahkan ini udah bisa dibilang udah seperti industri yang baru ya.

D: Iya. Jaman gue kecil untuk bisa jadi terkenal, antara lo mesti akting di film, jadi penyanyi, atau jadi pembawa acara. Cuma itu doang pilihanya. Sekarang dengan fasilitas yang ada, lo bisa bikin jutaan orang tahu lo without doing anything di bidang musik atau apalah itu. Contohnya lo tinggal pose telanjang aja. Gue bukannya mau sexist tapi semua orang bisa kayak gitu. Terus nantinya akan ada aja orang-orang yang endorse lo karena banyak yang follow lo. Intinya media udah beda banget sekarang.

HB: Dari yang kita bahas di atas, menurut lo musik jaman sekarang bakal sustain nggak sih?

D: Menurut gue selama musiknya masih enak didengar, itu akan sustain sih. Contohnya lewat nostalgia. Misalnya lo bikin lagu dan banyak yang hafal sekarang, nah 10 tahun lagi bocah-bocah yang dengerin lagu itu udah gede nih, nostalgia kan tuh pasti. Karena musik lo punya sentimental value. Cuma kalau musik yang lo bikin nggak enak, itu bakal gone dengan sendirinya. Karena aslinya udah nggak enak.

HB: Menurut lo perkembangan musik Indonesia dalam lima tahun ke depan akan seperti apa?

D: Kalau gue ngelihatnya sih pasti bakal lebih banyak variasinya. Kayak misalnya tadi pop masih mainstream sekarang ada niche-nya kayak city pop, dll. Sampai musik-musik kayak funkot semua bakalan punya estetikanya masing-masing dari yang biasa aja sampai yang bagus banget. Mungkin nanti bakal ada lebih banyak ekspor juga ke depannya karena menurut gue sekarang kita termasuk bangsa yang eksotis. Apalagi orang bule juga bisa lihat lewat platform sosmed tadi. Pasti sih akan berkembang ya, mudah-mudahan.

HB: Lo kan dulu sempat lama tinggal di London, aktif di scene musik disana dan Eropa, apa yang paling ngebedain di sini sama di sana secara scene-nya?

D: Menurut gue varian dan fasilitas di sana udah lengkap. Jadi lo mau dateng ke tempat yang gembel sampai yang boujee tempat pemain bola yang gajinya puluhan juta per-week itu tuh ada. Fasilitas, media, konsernya juga udah established. Nah berhubung London adalah kota metropolitan, banyak tuh variasi musiknya karena komunitas imigran tertentu punya daerahnya masing-masing. Mau dari Afrika, Jamaika, sampe ala ala Elton John semua ada. Tapi yang mau gue bilang adalah bukan di sana lebih waw di sini lebih nggak, mereka lebih maju karena jelas roots kita bukan di western musik. Sama aja kayak si Harsya Wahono sering bilang, “ya iyalah jelas ini orang masak pastanya enak orang dia asli Italia, kita juga punya pecel,” yang which is mereka nggak tau apa itu pecel. Jadi sebenarnya ya kalau kita lookup-nya ke western musik ya jelas di sana lebih maju orang namanya aja western.

HB: Tergantung perspektif lo lihat ke arah mana ya.

D: Iya. Kalau referensi lo ada di west ya susah. Terus dari kita pun ekspornya minimal, fasilitas minimal, mungkin juga referensi kita ke hal itu juga terbilang baru. Jadi ya kita selalu merasa kurang. Tapi untungnya kita punya sisi eksotis tersendiri walaupun kita juga belum tentu suka.

pandangan-dea-barandana-terhadap-industri-musik-lokal-di-era-pandemi

HB: Jadi dari perspektif orang luar juga melihat musik kita eksotis juga ada “wow” faktornya.

D: Betul, jadi tergantung lo-nya aja.

HB: Kalau tadi kita lihat orang luar udah banyak banget yang apresiasi musik kita, tapi justru kitanya sendiri malah take it for granted. Gimana menurut lo mengenai pandangan kayak gitu? Apa yang mesti dilakuin biar orang kita lebih sadar kalau musik yang kita punya sebanyak itu dan sebenarnya something banget?

D: Sebenarnya menurut gue kalau mereka terlalu di push untuk suka ntar jadinya pretentious ya. Jadi sebenarnya kalau kata gue sih lebih bagus dieducate dari dasarnya yaitu melalui lembaga pendidikan. Balik lagi ini ada contoh, pas waktu gue di Inggris, The Smiths, gue kira semua orang suka tapi ternyata nggak. Orang-orang sana berpandangan, “kok lo orang Indonesia dengerin musik right wing?,” nah lho lo mau ngomong apa tuh.

HB: Kalau boleh tahu sekarang lo lagi suka dengerin apa sih, De?

D: Waduh banyak banget ya, tapi karena balik ke pandemi tadi gue otomatis punya job musik dari luar. Gue belum lihat ke depan lagi karena kalau memang gue nggak bisa perform di sana, gue belum bisa keluar dari sini, gue untuk apa ngepush buat terlalu dengerin musik luar? Jadi sekarang gue lebih banyak referensi musik lokal. Nah di lokal sih gue nggak ada satu yang tetap ya, tapi gue sering browsing di Irama Nusantara, terus gue lagi seneng dengerin produksian A. Riyanto karena biasanya suka ada yang aneh-aneh, sama Ireng Maulana juga. Selain itu gue sekarang juga lagi ada tuh gue lupa nama Instagramnya. Lo tanya Gero deh hahaha. Mereka jualan plat Thailand tapi yang 80s. Ada R&B sama Pop Thai juga. Di sana juga ada orang Thailand yang nge-cover Sinaran. Jadi gue sekarang lagi banyak dengerin lagu lokal sekitar asia terutama southeast asia. Oh iya ada juga One Dee group, band yang bawain lagu-lagu Sunda, tapi menurut gue ini psychedelic banget hahaha.

HB: Last question, habis pandemi ini apa yang paling pengen lo lakuin?

D: Gue pengen bikin live concert dari seluruh karya yang udah gue bikin selama pandemi, termasuk lagu-lagu yang gue bikin buat musisi lain.

Baca Artikel Lengkap

Baca Berikutnya

BYO Luncurkan Campaign Gender Neutral dalam Koleksi Terbarunya
Fashion

BYO Luncurkan Campaign Gender Neutral dalam Koleksi Terbarunya

Menampilkan siluet ‘Warrior’ dengan tone multi-color dan pattern yang fresh.

WACKO MARIA dan 56 Tattoo Studio Merilis Koleksi Kolaborasi Terbaru
Fashion

WACKO MARIA dan 56 Tattoo Studio Merilis Koleksi Kolaborasi Terbaru

Dengan print grafis “Oni Skull”.

KATALIS dan Kamengski Hadirkan Skuter ‘Spacebar’ yang Terinspirasi dari Anime Robot
Desain

KATALIS dan Kamengski Hadirkan Skuter ‘Spacebar’ yang Terinspirasi dari Anime Robot

Dibuat khusus untuk customer Spacebar pertama mereka.

Crocs Tampilkan Attitude Punk lewat Kolaborasinya dengan Band Little Big asal Russia
Footwear

Crocs Tampilkan Attitude Punk lewat Kolaborasinya dengan Band Little Big asal Russia

Tersedia dalam warna hitam dan “Bubblegum” pink.

Nike Beri Penghormatan untuk Hall of Famer Baseball Ken Griffey Jr. lewat Four-Shoe Pack
Footwear

Nike Beri Penghormatan untuk Hall of Famer Baseball Ken Griffey Jr. lewat Four-Shoe Pack

Menampilkan legacy “The Kid” ke dalam Air Griffey Max 1, Air Max 90, Air Force 1 Low, dan Air Vapormax Plus


Basboi Umumkan Album Perdananya Berjudul “Adulting For Dummies”
Musik

Basboi Umumkan Album Perdananya Berjudul “Adulting For Dummies”

Kabarnya akan dirilis beserta buku dengan judul yang sama.

Koleksi Terbaru Vans x SpongeBob Squarepants Hadirkan Lineup Khusus Desainer Sandy Liang
Fashion

Koleksi Terbaru Vans x SpongeBob Squarepants Hadirkan Lineup Khusus Desainer Sandy Liang

“Imajinaaaasiii”

Helmut Lang Maksimalkan Technical Innovation pada Koleksi Resort 2022
Fashion

Helmut Lang Maksimalkan Technical Innovation pada Koleksi Resort 2022

Menampilkan color blocking monokrom dan tekstur mendetail.

Bau Bau by SUKU Rilis Tiga Varian Incense Baru
Desain

Bau Bau by SUKU Rilis Tiga Varian Incense Baru

Moonlit Forest, Seafoam, dan Nostalgia.

Arin Sunaryo Siap Tampilkan Karya Miliknya di Art Basel Live: Hong Kong
Seni

Arin Sunaryo Siap Tampilkan Karya Miliknya di Art Basel Live: Hong Kong

Di bawah naungan ROH Projects untuk mewakili Indonesia.

More ▾