Through The Lens: Hilarius Jason
Melihat gimana element of surprise dan permainan tekstur jadi style tersendiri dalam karya fotonya.

Through The Lens adalah rubrik khusus yang menghighlight para fotografer dari berbagai macam style fotografi, mulai dari portrait, landscape, fine art, fashion, sampai dokumenter. Lewat Through The Lens, tiap fotografer yang kami hadirkan akan memberikan insight mengenai karya beserta approach menarik mereka dalam memotret.
Hilarius Jason adalah nama familiar di dunia fotografi di Indonesia, khususnya fashion dan lifestyle photography. Karya-karya fotografer asal Jakarta ini udah sliweran di bermacam fashion publications maupun editorial bagi sejumlah brands, lokal dan internasional. Ia juga beberapa kali berkolaborasi dengan sejumlah entitas di industri kreatif lokal, mulai dari musik, collectives, dan banyak lainnya.
Selama ini, ia dikenal lewat karakter karyanya yang nonjolin permainan tekstur, warna, dan output yang diverse, dari yang secara visual terlihat abstrak dan moody hingga yang straight dan clean. Selama ini, memotret objek yang hampir sebagian besar adalah manusia, juga jadi kekhasannya.
Buat Through The Lens kali ini, kami ngajak ngobrol Jason soal gimana element of surprise ternyata jadi faktor penting buat dirinya dalam memotret serta melihat deretan karyanya sejauh ini.
HB: Jas, gimana sih awalnya lo bisa terjun ke dunia fotografi?
Jason (J): Mulainya cuman karena iseng ambil ekstrakurikuler fotografi pas SMP. Itu juga awalnya karena gue nggak bisa ngelukis padahal pengen banget bisa. Setelah join, ternyata gue sangat suka dengan aktivitas dan prosesnya, karena sebenernya prosesnya lumayan similar dengan melukis. Lalu pas udah jalan, gue pelan-pelan dapet respon positif yang bikin gue percaya diri; dari teman – teman, orang tua, guru, dan juga kawan-kawan deviantArt, hahaha! Sayangnya akunnya sudah gue hapus.
HB: Lalu seiring berjalan, apa yang bikin lo tertarik dengan fashion photography? Apakah justru udah dari awal atau ada proses sampe ke situ?
J: Setelah semua jenis fotografi gue coba, yang paling nyangkut sama gue adalah foto orang, karena gue bisa berkomunikasi dengan objek yang gue potret, nggak kayak medium-medium lain yang kadang bikin gue merasa stress—mungkin karena gue bawel—atau bosan during the process.
Nah, dari situ gue kerucutin lagi dari apa yang gue suka, dan ternyata gue pun nyangkut dan suka banget sama dunia fashion, baik dari baju-bajunya, bisnisnya, bahkan problemnya.
HB: Gimana lo nge-develop style fotografi lo saat ini?
J: Satu hal yang paling banyak membentuk style gue tuh ketidaksengajaan. Dari salah set lighting, kepencet saat editing, salah setting, dari situ malah banyak yang “Lho kok ternyata bagus juga?”. Lebih ke yang tidak terencana, tidak sesuai moodboard, baru deh dicatat buat future references.
Kadang gue juga sering kali terpaku sama moodboard dan referensi, yang menurut gue tidak terlalu sehat, walaupun inevitable dalam prosesnya. Nah, namun justru ketidaksengajaan-ketidaksengajaan ini yang bikin gue menjauh dari referensi dan menurut gue, itu malah jadi style gue.
HB: Ada nggak fotografer lain yang lagi lo into dan menginspirasi lo buat berkarya?
J: Mungkin bukan fotografer, tapi gue lagi suka banget pelukis Louise Bonnet soalnya dia mainin extreme proportions dan karya-karyanya cukup grotesque. Gue juga masih suka banget Jesse Kanda. Gue berharap supaya di tahun ini atau tahun depan gue bisa bikin karya yang lebih abstrak dan lebih bermain textur.
HB: Menurut lo, apa sih detail yang bikin sebuah foto jadi lebih hidup? Gimana cara lo utilize hal tersebut dalam karya foto lo?
J: Feeling aja sih, hahaha! Banyak orang lebih mentingin teknik dalam foto padahal menurut gue dua-duanya harus seimbang.
HB: Apa yang mau lo achieve dalam beberapa tahun ke depan sebagai fotografer? Any upcoming projects yang mau lo share?
J: Gue pengen bisa ngerjain publication international lebih banyak lagi dan juga salah satu yang dari dulu paling susah buat gue, yaitu punya kesiapan diri, baik secara karya dan kepercayaan diri, buat pameran.
“Setelah semua jenis fotografi gue coba, yang paling nyangkut sama gue adalah foto orang, karena gue bisa berkomunikasi dengan objek yang gue potret.”
“Satu hal yang paling banyak membentuk style gue tuh ketidaksengajaan. Dari salah set lighting, kepencet saat editing, salah setting, dari situ malah banyak yang “Lho kok ternyata bagus juga?”.”
“Gue berharap bisa bikin karya yang lebih abstrak dan lebih bermain textur.”