Through The Lens: Sharon Angelia
Cek bagaimana Bali-based photographer ini bermain dengan framing dan komposisi yang unorthodox.
Through The Lens adalah rubrik khusus yang menghighlight para fotografer dari berbagai macam style fotografi, mulai dari portrait, landscape, fine art, fashion, sampai dokumenter. Lewat Through The Lens, tiap fotografer yang kami hadirkan akan memberikan insight mengenai karya beserta approach menarik mereka dalam memotret.
Sharon Angelia adalah fotografer muda yang tinggal di Bali dan dikenal lewat kekhasan karyanya, terutama dalam fashion photography dan editorial. Sharon punya karakter yang memadukan permainan cahaya yang apa adanya dengan memanfaatkan natural light, serta selalu menonjolkan fitur-fitur dari objek manusia yang dipotretnya; menampilkan ekspresi dan body language yang terlihat natural dan intriguing secara visual. Dalam fotografinya, Sharon juga bisa dibilang sering menghadirkan framing dan komposisi yang unorthodox.
Karya-karyanya sendiri udah tersebar di sejumlah publications hingga dipakai untuk brand dan fashion label ternama. Di luar itu, Sharon punya project foto bernama “Her Sunset” yang menarik untuk disimak. Seri ini nunjukkin lebih dalam karakternya sebagai seorang fotografer dan eksplorasi karya fotonya, dari sisi yang lebih personal, sekaligus menghadirkan obrolan dengan sosok-sosok yang dipotretnya.
Dalam edisi terbaru Through The Lens, kami ngobrol dengan Sharon untuk mencari tahu cerita menarik soal awal mula ketertarikannya dengan dunia fotografi, apa aja yang selalu menginspirasi karyanya selama ini, dan keinginannya sebagai fotografer.
HB: Hi Sharon, gimana sih awalnya lo bisa terjun ke dunia fotografi?
Sharon (S): Nokia 6500 dengan kamera Zeiss 3.2 megapixel adalah perangkat pertama yang menginzinkanku untuk bereksperimen dan peka terhadap cahaya, manusia, dan keunikannya. Tahun 2009 tepatnya, aku jeprat-jepret apa aja yang menarik perhatianku di kelas. They studied, I shot. Nggak lama, ketahuan sama Bapak Kepala Sekolah. Bukannya ditegur, malah dipinjemin kamera DSLR beliau dan buku panduan awam kamera. “Minggu depan bantu saya dokumentasiin acara open house sekolah ya,” katanya.
Dari berkontribusi dalam seksi dokumentasi sekolah sampai diikutkan beberapa perlombaan fotografi, hadiah menangnya ditabung lalu dibelikan kamera DSLR pertama. Sejak itu, kamera dan fotografi sendiri adalah tool of freedom buat aku berekspresi dan berkarya.
HB: Gimana lo ngedevelop style fotografi lo saat ini?
S: Style fotografi bukan sebuah fokus yang aku ingin develop. Seringnya lebih ke nyobain teknis yang belum pernah aku coba sebelumnya. Dibanding tahun-tahun awal berkarir, sekarang lebih rajin mengeksplor lensa, kamera, dan artificial lighting. Menantang diri sendiri untuk bereksperimen dengan teknik baru namun hasilnya sama-sama menyenangkan. Sedangkan dalam bermain komposisi dan framing aku berusaha sekeluar mungkin dari apa yang sering diatur oleh teknik.
HB: Ada nggak fotografer lain yang lagi lo into? Someone yang menginspirasi lo buat berkarya.
S: Inspirasi paling segar buatku adalah manusia dan perilaku uniknya. So, strangers on Instagram dan hasil foto handphone amatirnya akan keseharian mereka dan apa saja yang menarik di mata mereka, are the best. Semakin second account, semakin dumped random photos, semakin menginspirasi.
HB: Menurut lo apa sih detail yang bikin sebuah foto jadi lebih hidup? Gimana cara lo utilize hal tersebut dalam karya foto lo?
S: Keorganikan objek yang difoto, bisa itu karakter manusia, chemistry, atau tempat. Organik yang aku maksud adalah yang tidak dibuat-buat, tidak dipaksakan. Aku percaya memotret objek yang tidak dibuat-buat lebih ada kecenderungan untuk menghasilkan karya yang lebih tidak terduga. Pemilihan talent dan lokasi adalah salah satu proses pra-produksi dimana aku paling picky. Preferensi aku selalu pada talent yang berani membawa karakternya sendiri, walaupun dia baru—daripada talent yang berusaha mengikuti acuan pose tertentu.
HB: Apa yang mau lo achieve dalam beberapa tahun ke depan sebagai fotografer?
S: Keseimbangan antara fotografi sebagai bidang profesi dan fotografi sebagai medium berekspresi. Karena menjadi fotografer komersil adalah sebuah profesi yang tidak pernah ter-plan, jadi kapan pensiun sebagai fotografer komersil adalah sesuatu yang ingin aku plan. Harapannya, saat fotografi sudah nggak jadi profesi, pengen bisa merasakan jatuh cinta dengan fotografi untuk kedua kalinya.
“Inspirasi paling segar buatku adalah manusia dan perilaku uniknya. So, strangers on Instagram dan hasil foto handphone amatirnya akan keseharian mereka dan apa saja yang menarik di mata mereka, are the best. Semakin second account, semakin dumped random photos, semakin menginspirasi.”
“Kamera dan fotografi sendiri adalah tool of freedom buat aku berekspresi dan berkarya.”
“Aku percaya memotret objek yang tidak dibuat-buat lebih ada kecenderungan untuk menghasilkan karya yang lebih tidak terduga.”
“(Aku pengen achieve) keseimbangan antara fotografi sebagai bidang profesi dan fotografi sebagai medium berekspresi.”