Andrea Norberg dan Perspektif Multikultural di Balik Bahasa Visual DIRT
Baca eksklusif interview kami di showroom barunya berikut ini.
Andrea Norberg menjadi salah satu figur utama dari kelahiran womenswear brand bernama DIRT. Tanpa latar belakang desain formal, bersama Sarah Doyle, keduanya menciptakan barisan artikel footwear dan aksesoris dengan desain unik dan terkesan “ugly” untuk memberikan bahasa visual yang eksperimental.
Berbagai pencapaian yang berhasil diraih Andrea saat ini nggak terlepas dari perjalanan hidupnya sejak lahir di Pulau Dewata, lahir dari orang tua berbeda kultur, hingga tumbuh besar di beberapa negara. Dari sanalah Ia berhasil mendapatkan seluruh ide dan kreativitas visual untuk membangun DIRT dengan kesuksesan yang nggak bisa dipandang sebelah mata, termasuk menjadi nominee Hypebeast Next 100 Indonesia 2022.
Hypebeast Indonesia berkesempatan untuk ngobrol langsung dengan Andrea di showroom-nya di Bali untuk menghadirkan cerita-cerita unik tentang perjalanannya di dunia fashion, proses membangun DIRT, hingga dinamika bekerja di Bali yang banyak dikenal dengan slow living-nya.
HB: Hi Andrea, please ceritain dikit tentang background lo!
Andrea Norberg (AN): Ibu gue berasal dari Bali sedangkan ayah dari Swedia. Dua dunia yang berlawanan kan! Gue lahir di Bali tapi pindah ke Swedia bersama keluarga ketika berumur 8 tahun. Kemudian gue sempet balik ke Bali saat masuk SMA, lalu tinggal di Amsterdam dan London untuk sekolah dan kerja. Gue memutuskan untuk balik ke Bali yang udah seperti rumah empat tahun yang lalu dan sejak saat itu gue menetap di sini. Gue pikir dualitas keturunan dalam diri gue banyak membentuk perspektif gue secara pribadi.
HB: Apakah dari dulu lo sudah into sama desain dan fashion?
AN: Ibu gue selalu menyukai fashion terutama sepatu! Orang tua gue bekerja di pabrik garmen ketika gue masih kecil dan gue cukup senang menghabiskan waktu di pabrik. Gue pikir pengalaman tersebut memicu kecintaan gue pada fashion. Meski begitu, gue nggak pernah berpikir untuk berkarir di dunia fashion sampai beberapa tahun yang lalu ketika gue mendapat tawaran kerja di SUKU Home. Di sana, gue belajar banyak hal tentang industri ini. Bekerja untuk brand Indonesia yang dipimpin wanita emang sangat menginspirasi. Gue dan Sarah memulai DIRT tanpa pendidikan desain formal. Gue rasa hal ini justru ngasih kami sentuhan desain yang nggak biasa sebagai bentuk bahasa visual DIRT.
HB: Bagaimana lo dan partner bisnis lo, Sarah, bertemu hingga muncul ide bikin DIRT?
AN: Gue bertemu Sarah setelah dikenalin sama seorang teman di Bali tiga tahun yang lalu. Kami terikat melalui passion yang sama dalam dunia fashion dan desain. Sample pertama kami sebenarnya adalah sandal yang kami buat untuk diri kami sendiri karena kami nggak nemu apa yang kami inginkan di market pada saat itu. Awalnya kami nggak punya niat untuk bikin brand sendiri, tapi setelah memakainya, teman-teman kami malah tertarik dan mulai minta untuk dibuatin. Saat itulah kami sadar kalau ini semua bisa jadi peluang bisnis yang menarik sampai akhirnya DIRT lahir sebagai brand.
View this post on Instagram
Pada November 2020, kami merilis sample pertama kami yang sekarang disebut S1 dalam enam warna berbeda. Saat itu, kami berdua kebetulan lagi bekerja untuk brand fashion lain, jadi bisa dibilang DIRT adalah side project kami. Sekarang, DIRT jadi full time job dan kami juga telah merilis berbagai siluet dan menjual produk kami baik ke market lokal maupun internasional.
HB: Gimana cara kalian membagi role kerjaan di DIRT?
AN: Saat ini, kami menjalankan DIRT sepenuhnya sendiri dan kami saling berbagi semua tanggung jawab di sini. Dari mulai desain, packaging, marketing, sales, seluruhnya dilakukan oleh kami. Tahun ini, kami banyak melihat perkembangan dalam brand ini dan juga belajar banyak tentang kekuatan dan kelemahan pribadi kami sendiri. Dalam beberapa tahun ke depan, kami berharap bisa memperbesar tim DIRT dan menjadikan posisi kami lebih fokus ke urusan desain dan creative.
HB: How do you define your personal style?
AN: Gue tipe orang yang cukup berhati-hati dalam shopping. Gue lebih milih invest ke barang-barang yang benar-benar gue suka dan bakalan berguna dalam jangka waktu yang lama. Biasanya sih lebih ke kombinasi brand atau desainer vintage dan independen. Gue sering mix-n-match rok dan atasan feminin dengan potongan siluet menswear. Apa yang gue pakai sangat bergantung pada mood gue pada hari itu. Tapi kebanyakan barang-barang yang gue punya adalah pakaian klasik kasual yang unik.
HB: Apa brand favorit lo saat ini?
AN: Gue suka brand yang menggunakan metode dan bahan kerajinan tradisional untuk menciptakan sesuatu yang sesuai dengan style modern saat ini. Isa Boulder adalah brand dari Indonesia yang dikenal lewat lineup knitwear mereka yang boundary-pushing, dan semuanya buatan tangan dari Bali! Story MFG dan Chopova Lowena adalah contoh lain yang gue suka. Mereka semua merangkul kerajinan tradisional dengan cara yang sangat berbeda.
HB: Apa tren fashion yang paling “nyantol” di pikiran lo dalam lima tahun terakhir?
AN: Gue percaya pakaian bisa jadi cara yang menyenangkan untuk mengekspresikan diri. Gue suka saat orang berpakaian autentik daripada mengikuti apa yang lagi tren. Tapi yang paling gue inget, trend sepatu PVC bening adalah salah satu yang nggak pernah gue pahami. Kelihatannya sangat nggak nyaman bagi gue. Menurut gue, lo nggak harus berkompromi dengan masalah kenyamanan biar terlihat keren.
HB: Apa lima barang esensial buat seorang Andrea Norberg?
AN: Smartphone dan laptop! Hampir semua pekerjaan gue dilakukan secara online dan gue nggak bisa menyelesaikan apa pun tanpa keduanya. Kedua barang ini juga ngebantu gue untuk tetap terhubung sama teman dan keluarga di luar negeri. Terus ada anjing gue yang namanya Miso. Gue suka binatang dan tumbuh bersama binatang. She is the best! Sunscreen, ini penting banget karena gue tinggal di Bali di mana lo menghabiskan banyak waktu bersepeda atau di pantai. Last but not least, gue pake tas jaring DIRT ke mana pun gue pergi. Ini tas favorit gue sehari-hari dan cocok dengan segala jenis pakaian.
HB: Lo berasal dari salah satu pulau paling menarik di dunia, Bali. Bagaimana Pulau Dewata menginspirasi lo dalam urusan karir?
AN: Ada rasa kebebasan dan suasana santai yang ada saat lo tinggal di sebuah pulau. Kondisi ini benar-benar memaksa lo untuk memperlambat langkah lo. Industri fashion bisa sangat cepat dan luar biasa, jadi menjalankan brand dari Bali terasa seperti hak istimewa karena kita nggak berada di lingkungan yang penuh tekanan sepanjang waktu. Gue pikir hal tersebut telah banyak mempengaruhi cara kerja kami, terutama gimana kami mengatasi situasi high-pressure dan problem solving. Bisa dibilang kita lebih ke mindset “go with the flow”.
HB: DIRT baru aja buka sebuah showroom di Bali. Apakah lo berencana untuk buka showroom di Jakarta dan luar Indonesia ke depannya?
AN: Bisa punya showroom dan bertemu dengan para customer secara langsung jadi pengalaman yang sangat berharga bagi kami dan tentunya menjadi momen puncak di tahun ini. Kami berdua pengen banget terhubung dengan lebih banyak customer DIRT di Jakarta & luar negeri dan berharap bisa menggelar beberapa acara tahun depan. Buka showroom lain emang jadi mimpi kami, tapi itu bukan sesuatu yang kami rencanakan dalam waktu dekat.